Sentralistik! Tersirat amanat dalam RUU Kesehatan yang dirumuskan melalui metode omnibus, saat ini tengah digodok bersama oleh pemerintah dan legislatif, membawa muatan untuk melakukan pemusatan kewenangan dibawah kementerian kesehatan.
Hal itu terlihat dari upaya mendorong proses pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit -hospital based. Dapat pula dicerminkan melaui mekanisme subordinasi BPJS Kesehatan dibawah Kemenkes.
Substansi RUU Kesehatan akan menjadikan Kemenkes sebagai lembaga yang memiliki peran secara powerfull, terkait tata kelola kesehatan nasional.
Beberapa hal tersebut diatas, mengisyaratkan bahwa ada perluasan otoritas, yang akan menjadi bidang tugas dari Kemenkes, bahkan dari hulu hingga ke hilir.
Termasuk relasi yang terlihat superior, dalam konteks keterkaitannya dengan berbagai organisasi profesi kesehatan. Kemenkes menjadi poros sentral.
Metode hukum Omnibus yang dipergunakan, memang mengandaikan kerangka penggabungan beberapa undang-undang, dengan tujuan harmonisasi serta simplifikasi.
Pertanyaan mendasarnya, sejauhmana evaluasi tumpang tindih antar undang-undang yang menaungi permasalahan kesehatan terjadi? Sekurangnya, 9 undang-undang akan digabungkan, dengan 4 undang-undang yang akan diubah.
Sebagian diantaranya termasuk produk legislasi yang masih muda, relatif baru. Semisal UU Keperawatan 2014, lalu UU Kekarantinaan Kesehatan 2018 dan UU Kebidanan 2019.
Dari durasi waktu pengesahan beberapa UU tersebut, terlihat jarak yang terlalu dekat untuk dilakukan rujukan perubahan.
Pada RUU Kesehatan ini, peran Kemenkes akan dikuatkan. Tentu saja hal itu dapat disambut baik, sebagai sebuah kesungguhan dalam mengelola sektor kesehatan.
Namun demikian pula sebaliknya, publik dapat pula bertanya sejauhmana efektifitas pencapaian tujuan tersebut bisa terlaksana. Pekerjaan Kemenkes menjadi semakin bertambah.