Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Konstruksi dan Belenggu Bias Perempuan

10 Maret 2022   14:30 Diperbarui: 12 Maret 2022   04:15 2488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi siluet perempuan. (sumber: Shutterstock via kompas.com)

Break The Bias! Begitu tema Hari Perempuan Internasional 2022 (8/3). Hal itu selaras dengan kehendak untuk melihat kesetaraan sebagai sebuah bingkai indah kehidupan. 

Sebuah makna yang mendalam guna mendapatkan keadilan, penghargaan atas perbedaan serta bebas dari diskriminasi.

Persoalan perempuan membentang panjang dari latar sejarah kehidupan manusia. Praktik seksisme, misogini hingga budaya patriarki telah terinternalisasi begitu dalam. 

Pokok utamanya dalam kesetaraan gender adalah melihat kedua belah pihak lelaki dan perempuan, sebagai subjek yang saling terkait.

Ketika tema Hari Perempuan sedunia, masih mengkampanyekan mengenai upaya untuk keluar dari perspektif yang bias bagi kaumnya, maka permasalahan ini jelas menjadi problematika bersama. Konstruksi sosial yang melekat melalui sistem serta budaya patriarki, perlu dikoreksi ulang.

Tentu kita bisa mulai dengan pilihan diksi yang menggandung makna sejarah, untuk menyebut perempuan atau Wanita dengan segala penjelasannya. Kedua kata tersebut, secara bersama dan sekaligus mengalami perubahan makna, dalam bentuk buruk -peyorasi maupun baik -ameliorasi.

Substansi dasarnya, kedua kata tersebut merujuk pada subjek yang sama, dan dalam realitasnya tengah berhadapan dengan tantangan lingkungan sosial yang tidak ramah.

Problem Struktural

Kendala yang dialami para perempuan terpotret dalam sebuah film dokumenter Netflix, berjudul City of Joy, 2018. Lokasi kejadiannya di kawasan Afrika, daerah konflik Kongo.

Tergambarkan bagaimana penderitaan perempuan terbentuk secara berlapis, tidak hanya dari tingkat keluarga hingga struktur sosial ditengah kekacauan pemberontakan serta perang kelompok, termasuk kekerasan seksual yang terjadi.

Inisiasi untuk keluar dari tekanan yang menghimpit tersebut, dibuat dengan membangun lokasi aman, City of Joy, yang tidak hanya menjadi ruang rehabilitasi tetapi sekaligus tempat untuk membangun kembali mental dan harapan dari para korban kejahatan pemerkosaan untuk mampu berdaya.

Ironisnya, titik bara kejahatan seksual terkonsentrasi bersamaan dengan maraknya lokasi pertambangan kekayaan sumberdaya alam, yang dilengkapi pengamanan bersenjata. Terhimpit dan semakin tersudut posisi perempuan di ruang konflik. Direndahkan, sekaligus dieksploitasi sebagai objek.

Tidak hanya dibelahan negara Afrika, situasi serupa juga secara tipikal terjadi di tingkat lokal. Lihat perjuangan para perempuan berhadapan dengan kenaikan harga pangan konsumsi. 

Tengok antrean ibu-ibu yang mengantri akibat kelangkaan minyak goreng, di negeri dengan berlimpah kebun sawit ini.

Karena itu, simpati sekaligus empati terbentuk, ketika melihat pemberitaan media melalui platform YouTube (24/2), saat seorang ibu berkeluh pada Menteri Perdagangan, yang bertugas mengurusi kekacauan tata kelola minyak goreng. 

Secara etik dan moral, harus ada bentuk tanggung jawab di sana. Terlebih, para pengambil kebijakan justru menyebut indikasi penimbunan dilakukan rumah tangga. 

Sebuah konstruksi yang seolah hendak lepas tangan dengan melemparkan persoalan pada perilaku publik. Kekhawatiran masyarakat akan pasokan bahan pangan, merupakan kegagalan struktural.

Merangkai Tujuan

Harus dapat dipahami, bahwa perempuan membawa makna kehidupan, merupakan ibu kebenaran. Dengan perspektif yang berubah tersebut, perempuan dapat dilihat sebagai konstruksi simbolik tentang kesetaraan dan keseimbangan hidup manusia di muka bumi.

Tidak melulu terkungkung dalam stereotipe merawat dan memelihara, tetapi sekaligus mampu membentuk dan membuat yang selama ini identik dengan profile lelaki. 

Dalam era modern, perempuan justru memiliki kesempatan dan kemampuan untuk bertransformasi secara fleksibel.

Ruang aktifitas perempuan, dalam hal ini panggung perjuangannya semakin terbuka. Dunia yang berjejaring dengan kemajuan teknologi, ikut mendorong demokratisasi informasi, juga berdampak bagi kaum perempuan. 

Pada situasi tersebut, ada wilayah fantasi sebagai tujuan yang perlu dikukuhkan. Perspektif itu memunculkan sikap kemandirian dan keberanian, untuk menghidupkan gagasan tentang kapasitas emansipasi perempuan. 

Penelitian Rewindinar, Fantasi Mamah Muda, Kajian Morfogenesis dan Network Society, 2022 memperlihatkan bahwa kolektifitas dan interaksi yang kohesif dari para perempuan, mampu menciptakan bentuk keagenan baru yang berkorelasi dengan sturktur sosialnya.

Di titik tersebut, pilihan kritisnya kembali berpulang pada kaum perempuan, untuk mengambil pilihan apakah konsisten dalam mencapai tujuan keadilan gender, atau justru terperangkap dalam stereotipe tradisional sebagai akibat buaian modernitas.

Perempuan harus mampu untuk meluruskan bias internalnya, sembari mengikis bias yang terjadi baik secara struktural maupun kultural pada kehidupan bernuansa patriarki. Selamat hari perempuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun