Perang proksi! Tidak pernah terbayangkan dalam kehidupan ditengah pandemi, perang terjadi. Tetapi begitu kenyataannya dalam kasus Rusia dan Ukraina. Tetapi Ukraina hanyalah bagian dari sekrup dan proksi kepentingan "Barat" dalam terminologi yang melihat akar historis perang dingin.
Dalam konteks perang fisik, perbandingan kekuatan militer kedua negara, Rusia dan Ukraina jelas tidak berimbang. Ibarat adu tanding gajah dan pelanduk. Tetapi si pelanduk yang semakin terjepit posisinya itu, diasumsikan sebagai bayang-bayang dari kekuatan yang ada dibelakangnya, proksi "Barat" tadi.
Konflik militer terbuka, telah meletus. Kini bukan sekedar bara, melainkan telah menjadi api. Situasi ini dapat didekati dengan berbagai perspektif, mulai dari aspek geopolitik internasional, persoalan ekonomi-politik, hingga menyoal tentang kerangka sistem pertahanan.
Pada akhirnya, pihak yang paling terdampak adalah rakyat dikedua negara dan dunia secara keseluruhan. Sanksi ekonomi ditimpakan bagi Rusia, kehancuran berbagai infrastruktur fisik terjadi di Ukraina. Kehilangan korban nyawa terjadi dikedua belah pihak. Imbasnya ditanggung dunia.
Dalam logika zero-sum, sulit menebak siapa yang akan untung dan rugi. Melihat yang terjadi di Ukraina, semua negara meningkatkan kewaspadaan. Sistem pertahanan diperkuat, anggaran belanja ditambah. Kredo si vis pacem para bellum -kalau ingin damai, bersiaplah perang, kembali mendapat tempat.
Produsen peralatan senjata jelas beroleh untung, biaya perang bisa jadi jauh lebih besar dari anggaran kesehatan selama pandemi. Sekali lagi, pasca perang dunia yang dilanjutkan dengan perang dingin, adu dominasi dan supremasi sebagai negara adidaya memposisikan "Barat" sebagai pemenang.
Keruntuhan tembok Berlin dan unifikasi Jerman Timur dan Jerman Barat, hingga keruntuhan Soviet menjadikan Rusia menaggung beban berat sejarah. Sebagaimana Francis Fukuyama, 1992 dalam The End of History and The Last Man, "Barat" cum demokrasi liberal telah menjadi pemenang.
Untuk itu, seolah tidak banyak pilihan bagi Rusia, perang menjadi sarana untuk menyatakan ekspresi politik guna menyampaikan pesan komunikasi, bahwa "Barat" tidak bisa terus-menerus mendikte pihak lain. Posisi ini sesungguhnya terjadi melalui perang dagang China vs Paman Sam, bentuk perang ekonomi modern.
Membangun Jembatan Resolusi
Mungkinkah tekanan dunia, melalui berbagai pernyataan kecaman hingga sanksi ekonomi mampu meluluhkan Rusia untuk berhenti melakukan perang? Sulit menjawabnya, kecuali dengan merumuskan model komunikasi konflik yang dapat meredakan ketegangan semua pihak.
Dalam upaya mencari jalan keluar disituasi konflik, maka peran para pihak untuk menghadirkan komunikasi yang egaliter perlu dikembangkan. Tidak hanya Rusia dan Ukraina, melainkan juga apa yang disebut sebagai kepentingan proksi "Barat". Rusia sekurangnya melihat potensi ancaman yang diidentifikasi melalui permohonan Ukraina untuk menjadi bagian dari organisasi pertahanan NATO.
Tahap awal dari komunikasi konflik adalah keterbukaan dan kemauan semua pihak yang berkonflik untuk mencapai tujuan bersama, yakni membangun situasi damai. Tidak akan ada hasil yang diperoleh, ketika semua pihak bersikukuh pada pendapatnya.
Menahan diri. Alur resolusi yang dapat diformulasikan, pertama: NATO tidak melanjutkan proses keanggotaan Ukraina, kedua: Ukraina mendapat jaminan keamanan melalui lembaga PBB, ketiga: Rusia menarik diri, keempat: tekanan ekonomi atas Rusia dilonggarkan.
Mungkinkah itu terjadi? Tentu akan sangat bergantung dari sejauhmana masing-masing pihak mampu membayangkan kepentingan publik secara lebih besar. Tentu saja, proses komunikasi konflik tidak akan berlangsung dalam waktu singkat dan sederhana, mengingat kompleksitas kepentingan terkait.
Sekali lagi, perang Rusia dan Ukraina mengingatkan kita bahwa wabah dan bencana alam tidak pernah mampu menghancurkan peradaban manusia, melainkan ambisi serta hasrat manusia itu sendirilah yang meninggalkan sisi kemanusiaan sehingga yang tersisa hanyalah kehancuran. Semoga damai tercipta!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H