Hilang! Ketika nyawa manusia menghilang, maka kenangan yang tersisa adalah tentang kebaikan. Persoalan nyawa bukan semata angka statistik, karena satu jiwa begitu bermakna.
Lekat dalam benak kalangan aktivis mahasiswa era '98, berbagai tragedi kekerasan yang ditampilkan oleh pemangku kuasa, berujung pada timbulnya korban.
Reformasi merupakan suatu periode transformasi politik, yang berkehendak untuk mengubah wajah otoriter Orde Baru saat itu. Ekspresi kebebasan yang direpresi mencari saluran
Terselip momen tragedi Semanggi II, sebuah situasi dimana terjadi penolakan publik atas RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya -PKB.
Pilihan diksi atas kondisi bahaya dan darurat menjadi multitafsir, mudah dimainkan sebagai alat kepentingan kekuasaan, hal itu ditolak karena berpotensi mengembalikan gagasan kuasa militer.
Bayang-bayang kekuatan Orde Baru yang dibangun melalui fungsi birokrasi dan militer, kembali mengancam usia reformasi yang baru seumur jagung. Bisa jatuh ke pola militeristik.
Tak pelak ide soal RUU PKB mendapat penolakan keras. Elemen mahasiswa kembali menyuarakan basis gugatan atas usulan rencana undang-undang tersebut. Berakhir tragis.
Merenggut nyawa. Korban terjatuh dalam aksi demonstrasi perlawanan atas gagasan pembentukan RUU PKB. Salah satunya adalah kawan Yun Hap, mahasiswa Elektro UI '96.
Perjuangan
Bila dirunut berdasarkan kedekatan dan pengenalan pribadi, sejumlah massa kemudian berkalang nyawa dalam penolakan RUU PKB jelas tidak bertalian satu dengan yang lainnya.
Tetapi sesungguhnya, mereka satu dalam agenda perjuangan, melawan ketidakadilan. Sebagaimana Che Guevara menyebut, "bila hatimu bergetar marah karena melihat penindasan, maka kau adalah kawanku".
Jalinan kesatuan yang dipertautkan dari rangkaian kekerasan negara terhadap warganya, membentuk tali persaudaraan yang merentang luas, dan harus ada upaya serius untuk menuntaskan persoalan kejadian tersebut.
Penolakan hingga perlawanan publik dalam konteks kajian semiotika sosial menjadi petanda akan ketidakpuasan publik atas agenda yang diusung oleh mereka yang berjuluk wakil rakyat.
Disisi lain, momen peristiwa tragedi Semanggi II menyisakan pekerjaan rumah yang belum selesai bagi elemen mahasiswa. Kelompok gerakan reformasi ini, kerap timbul-tenggelam dalam aras isu sosial, politik dan ekonomi nasional.
Lecutan dari kejadian tersebut, ternyata tidak mampu untuk menjaga momentum yang lebih besar, dimana mahasiswa menjadi bagian representasi kepentingan publik. Durasi energinya terbatas.
Lapisan ilmuwan muda yang diharapkan menjadi intelektual organik, sebagaimana Gramsci menyebutnya sebagai bagian dari kesatuan yang melekat dalam kerangka kepentingan massa, berhadapan dengan pragmatisme.
Kajian Cornelis Lay, tentang Jalan Ketiga Peran Intelektual: Konferensi Kekuasaan dan Kemanusiaan, 2019, menjadi titik reposisi tentang eksistensi ilmuwan yang berdampingan dengan kekuasaan melalui negosiasi, tidak sepenuhnya terhegemoni juga tidak pula melulu oposisi.
Disadari bahwa situasi itu penuh dengan jebakan birahi kekuasaan, terlebih dibekali dengan otoritas serta kewenangan, termasuk mendapat keistimewaan atas status kehormatan sosial.
Dilema
Peran mahasiswa yang dilekatkan sebagai agen moral dan intelektual bertemu dengan persoalan dalam dirinya sendiri. Kelak di masa depan mereka pula yang menjadi lapis kekuasaan baru.
Betapa banyak para aktivis dan tokoh dari berbagai lembaga swadaya masyarakat yang berada di lingkup kekuasaan, kini justru tersandera untuk menjadi pembela dan membenarkan seluruh aksi kuasa, atau hanya terdiam.
Ditengah disrupsi digital, suara mahasiswa mewakili kelompok kritis nampak tenggelam dalam riuh banjir informasi. Kekuasaan menjadi tidak terjamah dari kritik, dibentengi para pendengung -buzzer dan influencer.
Kehidupan sosial saat ini yang tersedia melalui ruang virtual dalam jejaring online, menjadikan kaum intelektual dan para pakar menjemput kematian, kalah suara dalam jumlah pengikut -followers di media sosial. Tom Nichols, 2018, dalam The Death of Expertise sudah mengingatkan hal tersebut.
Lebih jauh lagi kematian kelompok intelektual termasuk mahasiswa, akademisi dan elemen kritis lainnya, terjadi karena ruang demokrasi di kampus yang semakin menyempit karena birokratisasi dan komersialisasi pendidikan.
Peter Fleming dalam Dark Academia: How Universities Die, 2021 menyebut bahwa lembaga pendidikan bernama universitas mengalami kebuntuan bagi kebebasan dirinya, tekanan psikologis melalui ukuran publikasi ilmiah, tingkat kelulusan, termasuk kompetisi antar kampus semakin menjadi.
Bila kondisinya sudah sedemikian pelik, agak tampak sulit membayangkan mahasiswa untuk bisa memberi kontribusi solusi bagi persoalan publik di sekitarnya.
Di titik tersebut, jati diri mahasiswa dan kaum intelektual harus dikembalikan rohnya pada kesejatian publik, melalui moralitas kemanusiaan sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H