Dimana posisi para cerdik pandai dalam masyarakat? Pertanyaan itu selalu berulang menyoal peran serta kedudukan kaum cendekiawan, mereka yang bergelimang pengetahuan dalam konteks relasi sosial.
Sepanjang umur ilmu pengetahuan, kita memahami bahwa konstruksi keilmuan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bentuk keberadaban masyarakat. Karena itu kelompok terpelajar tidak berada di ruang hampa.
Dalam bentuk yang lugas, cerminan kuatnya pengaruh bingkai sosial dalam formulasi ilmu pengetahuan, terbaca melalui asumsi yang diprasangkakan pada pandangan ilmuwan. Edisi National Geographic (09/21) mengulasnya melalui Kisah Perbedaan Manusia.
Kekeliruan para ahli terjadi ketika pengetahuan tidak lagi bebas nilai, melainkan menjadi representasi kepentingan. Dalam kajian etika, basis nilai dari ilmu pengetahuan adalah kemanusiaan bukan sekedar kemauan elit.
Dengan begitu, pengetahuan adalah instrumen merdeka yang berpihak pada kebenaran publik. Problemnya, era bising teknologi digital menciptakan ruang palsu para demagog digital yang mematikan fungsi para pakar.
Bersemayam di Awan
Lapisan cendekiawan semakin menjauhkan diri dari realitas sosial. Bermukim di tempat terpencil dan tidak terjangkau bernama kampus. Terlokalisir dan tenggelam dalam rutinitas penelitian akademik yang tampak suram, karena lemahnya dampak bagi perubahan sosial.
Komunitas intelektual hidup di menara gading, hanya turun menjadi resi manakala persoalan telah mencapai titik klimaks yang memuncak. Terlambat, peran para ahli dan pakar tergantikan di era digital oleh para pendengung -buzzer.
Catatan Tom Nichols, 2018, dalam Matinya Kepakaran, menyebut bias informasi semakin menjadi di dunia maya, konfirmasi publik merujuk pada para aktor yang lihai bersosial media ketimbang pakar.
Peran serta tanggung jawab kepakaran mengalami kematian ketika panggung dikuasai kebenaran palsu yang seolah-olah. Literasi dalam makna kemampuan memilih-memilah dan memaknai informasi, harus berjalan seiring edukasi -pencerahan publik sebagai tugas intelektual.
Ketika ruang digital justru senyap dari campur tangan cendekiawan, dan semakin menggemakan suara-suara dari proksi kekuasaan melalui kaki tangan para pembelanya di dunia online, kita sesungguhnya sedang menunggu waktu keruntuhan kehidupan sosial.