Penghapusan hak paten disebut akan menjadi ancaman bagi ruang kreativitas ilmiah. Pada pangkal masalah tersebut, duduk perkara harus ditempatkan secara proporsional.
Konstruksinya, (i) pandemi adalah masalah bersama, (ii) penularan terjadi melalui kontak sosial, dengan begitu upaya perlindungan harus dilakukan bagi semua.
Lebih jauh lagi, kita perlu memasukan peran swasta, (iii) institusi penelitian vaksin membutuhkan insentif sebagai bagian dari stimulus inovasi, (iv) nilai keberhasilan inovasi dikalkulasi melalui fungsi komersialisasi.
Kuasa Pengetahuan
Kritik terbesar dari Guru Besar Linguistik Amerika Serikat Noam Chomsky terkait pandemi adalah gagalnya sistem kapitalisme yang memiliki fokus pada orientasi akumulasi keuntungan, sehingga mengabaikan nilai kemanusiaan yang muncul melalui fenomena pandemi.
Ilmu pengetahuan adalah kekuasaan, demikian disebut filsuf Michel Foucault. Keduanya berjalan secara dialektik. Pengetahuan melahirkan kekuasaan, dan pada kelanjutannya kekuasaan dikukuhkan melalui pengetahuan.
Tidak mengherankan bila negara-negara maju seolah memiliki legitimasi semu dalam mengatur dunia, karena dominasi pengetahuan yang dimilikinya. Termasuk soal vaksin dalam pandemi.
Bagi filsuf Slavoj Zizek, pandemi mengisyaratkan perlunya peribahan tata kelola dunia. Kepemilikan menjadi pangkal persoalan, karena individualisme menjadi penghalang bagi kepentingan kolektif.
Lalu bagaimana keluar dari polemik hak paten disaat pandemi? Lagi-lagi, konsep pokoknya perlu dipahami, bahwa pandemi adalah ancaman bagi eksistensi manusia tanpa terkecuali.
Dengan berdasar hal tersebut, maka terdapat urgensi untuk bersama-sama keluar dari problematika pandemi, meski tetap perlu memperhitungkan keterlibatan peran swasta.
Dimungkinkan terdapat opsi solusi dalam menghilangkan paten serta berbagi formula bagi akses produksi vaksin Covid-19, yang hingga kini masih berstatus pandemi serta melanda seluruh penjuru dunia.