Sim salabim, abrakadabra! Virus pun seketika menghilang dari muka bumi. Sorak sorai membahana. Umat manusia terbebas dari pengancam terbesarnya abad ini. Ilustrasi itu tampak melegakan.
Lebih dari setahun lamanya kita hidup dirundung pandemi, menyebabkan situasi kelelahan mental. Seolah dengan hilangnya virus, maka hilang pula penderitaan yang kita alami. Padahal bila dilacak dari akar historis, virus dan manusia selalu membangun relasi yang tidak berkesusahan.
Tema besar itu pula yang diangkat National Geographic (3/ 2021) dengan tajuk, Mukjizat Virus. Hasil penelusuran tim penulis tersebut menemukan bagaimana cikal bakal manusia mengalami evolusi seiring interaksinya berhadapan dengan virus. Terjadi simbiosis di antara keduanya.
Kehadiran virus, secara tidak langsung mempercepat seluruh proses perubahan dalam peradaban manusia. Teknologi dan ilmu pengetahuan mengambil peran penting yang tidak terpisahkan menghadapi virus. Pola adaptasi dikembangkan manusia guna merespon keberadaan jasad renik tersebut.
Pada kondisi serupa, makhluk tidak kasat mata ini terus berupaya untuk mempertahankan eksistensinya, dengan tumbuh serta berkembang pada tubuh inangnya, yakni manusia. Mutasi virus adalah konsekuensi logis dari proses akomodasi terhadap perubahan kondisi lingkungan hidupnya.
Menariknya, melalui telusur genetik diketahui bahwa struktur dasar kehidupan manusia modern pada titik tertentu ditengarai terbentuk dari hasil pertemuan manusia di masa lalu dengan berbagai virus yang melingkupi kehidupannya.
Dengan begitu, kesimpulan besarnya, virus tidak bisa dipandang hitam-putih secara monolitik, melainkan berada dalam ruang abu-abu yang tidak sepenuhnya terkungkung dalam pilihan baik-jahat melainkan keduanya secara bersamaan.
Akal Manusia
Melalui perambahan pengalaman di masa lalu, kita mendapatkan banyak kesimpulan yang tipikal atas pergumulan manusia terhadap wabah yang datang silih-berganti. Sesungguhnya manusia tidak banyak belajar memahami dirinya.
Umat manusia kerap lupa, bila kerusakan di muka bumi juga terjadi karena tangan-tangan jahil manusia itu sendiri. Meski telah berulang kali terjadi, penularan wabah kerap telat diantisipasi. Salah satu masalah besarnya adalah ego manusia itu sendiri yang tersekat dalam kerangka kepentingannya masing-masing.
Padahal, bila dirunut pada tiap kisah di masa lalu tentang wabah kita mendapati munculnya solidaritas sosial untuk saling mendukung serta menguatkan. Selain itu, struktur kekuasaan memiliki peran pengaturan yang bersifat langsung dalam mengatasi penularan.
Karakter politik dari kehidupan sebuah negara, mempengaruhi bagaimana sikap para pengambil keputusan menjawab tantangan pandemi. Di tanah air, pada masa kolonial, ketika wabah pes melanda, terjadi kemunculan lapisan dokter pribumi yang mengisi kekosongan tenaga medis kolonial dalam memberikan layanan publik.
Tiap etape kehidupan manusia yang terhubung dengan ancaman bagi dirinya, menumbuhkan pengetahuan hingga perubahan perilaku. Konsep dasarnya yang diwariskan turun temurun masih berkutat pada keharusan untuk melakukan isolasi komunitas, memisahkan yang sakit dari yang sehat, serta menjaga pola hidup bersih.Â
Sementara itu pada kemajuan modernitas saat ini, kita menambahkan kesadaran akan aspek hubungan timbal balik antara manusia dan ekosistem. Hal ini menjadi penting, mengingat umat manusia dalam dialektika kehidupannya, akan selalu berhadapan dengan faktor dinamis yang menguji nalar dan keberadaan fisiknya.Â
Akhir pandemi akan sangat bergantung pada bagaimana manusia bisa mulai memahami bahwa seluruh tindak tanduknya di muka bumi memiliki dampak yang setara. Tidak ada sim salabim, abrakadabra!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H