Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Harapan dan Kesempatan Kedua Melewati Pandemi

8 Februari 2021   14:50 Diperbarui: 8 Februari 2021   15:02 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

2020 dikenang sebagai tahun yang kelabu, sebagian bahkan menyebutnya annus horribilis sebuah masa yang mengerikan. Kesempatan kedua ada di tahun 2021, disebut-sebut menjadi tahun optimisme, periode annus mirabilis. 

Tetapi glorifikasi dan kepercayaan diri berlebih, bisa berbalik menjadi sebuah ancaman baru bila kemudian menurunkan tingkat kewaspadaan kita pada penularan wabah. Secara keseluruhan kita masih terus berupaya untuk lepas dari pandemi.

Keberadaan vaksin dan tindakan vaksinasi, perlu disikapi secara bijaksana. Tidak ada rumus mutlak yang menjadi obat mujarab -panasea, karena itu kita harus mampu mengkombinasikan harapan bersama dengan kehati-hatian. 

Pola adaptasi dan adopsi atas norma perilaku baru dalam menjaga kesehatan menjadi sebuah keharusan. Angka kumulatif kasus Covid-19 di tanah air terus bertambah, persebaran wabah masih terjadi, harus terdapat ruang refleksi.

Ada banyak hal menarik sebagai pelajaran kehidupan penting untuk dicermati dari kejadian yang dialami para penyintas Covid-19. 

Kolase cerita dikumpulkan National Geographic, Bergelut Melawan Pagebluk, Juni 2020, memperlihatkan bila spirit kuat atas kehidupan mampu mengalahkan kengerian kematian akibat pandemi.

Situasi itu persis sebagaimana dituangkan Viktor E Frankl, Pencarian Makna Hidup, 2017 yang menyebutkan bila kita tidak bisa dapat menghindari penderitaan, tetapi kita dapat memilih cara dalam mengatasinya, menemukan makna di dalamnya dengan tujuan baru.

Dalam kajian Frankl, pandemi tidak ubahnya menjadi sarana untuk merumuskan tujuan hidup. Akar utama penyangga kehidupan tidak ditemukan di masa lalu, melainkan ada pada pencapaian di masa mendatang.

Those who have a why to live, can bear with almost any how. Ilustrasi semangat hidup dari para penyintas Covid-19 membangkitkan kemampuan meningkatkan imunitas, mengalahkan perang psikologis melawan virus.

Ruang Ketimpangan

Harapan serta tujuan harus dibangun pada wilayah yang riil, bukan pada area imajiner. Kita berhadapan dengan pandemi, yang tidak hanya menyerang stamina fisik tubuh manusia, secara bersamaan melemahkan kondisi psikisnya.

Kajian National Geographic, Saat Virus Merebak, November 2020, memperlihatkan semua kawasan di dunia terus berjuang mengalahkan virus dengan berbagai kondisi sosial yang aktual. Di Indonesia, ada anomali antara kekhawatiran penularan dan tuntutan ekonomi.   

Begitu pula misalnya di Yordania, derita para pengungsi akibat konflik semakin bertumpuk di saat pandemi dan keterbatasan negara dalam menanganinya. Ketimpangan semakin terlihat menonjol dan mencuat seiring pandemi, terutama bagi negara miskin dan berkembang. 

Lebih jauh lagi, kondisi pandemi juga memiliki peluang untuk semakin memperdalam keburukan. Lansiran Transparency International Indonesia, Korupsi dan Covid-19: Memperburuk Kemunduran Demokrasi, 2021 memperlihatkan hal tersebut.

Pada rilis tersebut, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di Indonesia turun dari peringkat 85 (2019) menjadi ranking 102 (2020), dari 180 negara. Sekaligus mengalami penurunan skor IPK di angka 37 (2020), setelah sebelumnya 40 (2019). 

Delia Ferreira Rubio, Chair TI menyebut Covid-19 bukan hanya krisis kesehatan dan ekonomi, namun juga sekaligus krisis korupsi dan demokrasi. Diketahui bila negara dengan tingkat korupsi yang tinggi bertendensi untuk merespon krisis dengan cara yang kurang demokratis. 

Pandemi menghadirkan ruang ketidakpastian, setidaknya dua hal penting, (i) belum dapat dipastikan bagaimana cara mengatasinya, dan (ii) tidak dapat diprediksi kapan berakhirnya. Kedua tanda tanya besar itu menghadirkan kecemasan, hingga menyebabkan adanya ketakutan akan masa depan.

Lagi-lagi, kita harus berpikir layaknya para penyintas Covid-19 yang telah melewati periode kritis secara medis dari kehidupannya, untuk dapat menyusun tujuan dan harapan sebagai kerangka membangun semangat serta makna kehidupan, sehingga dapat merumuskan optimisme bagi masa depan.

Pada sisi yang bertalian, para pemangku kuasa yang bertindak sebagai pengambil kebijakan harus mampu mewujudkan gagasan tentang kepentingan publik, dari sekedar mengail untung dengan tindakan tercela demi kocek pribadi di atas penderitaan publik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun