DISUNTIK. Vaksinasi Presiden Jokowi tuntas untuk kedua kali pada Rabu (27/1). Prosesi pemberian vaksin Sinovac kepada kepala negara terjadi bersamaan dengan tembusnya sejuta kasus Covid-19 di tanah air.Â
Harapan besar atas vaksinasi yang akan menjadi senjata pamungkas melawan pandemi, berhadapan dengan realitas berbagai persoalan yang membebaninya. Mulai dari gempuran hoax mengenai vaksin, hingga kendala dalam kerangka struktural hingga kultural.
Menarik bila menyimak penyampaian Menteri Kesehatan (27/1) terkait momen sejuta kasus Covid-19 dalam dua hal, (i) dimaknai sebagai periode berduka atas hilangnya sejumlah nyawa ditafsir sebagai kesedihan sekaligus kewaspadaan, dan (ii) membutuhkan upaya yang lebih keras guna menjalankan disiplin protokol kesehatan 3M (memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak) maupun usaha menangani pandemi melalui 3T (testing, tracing, treatment).
Pernyataan tersebut secara tidak langsung mengisyaratkan bahwa penanganan Covid-19 di dalam negeri belumlah sukses, dengan kata lain mengalami kesulitan untuk mengatasi risiko yang terjadi, diantaranya (i) kesalahan mengantisipasi pandemi pada periode awal, dan (ii) kegagalan mereduksi jumlah penularan manakala pandemi telah menjadi risiko yang aktual.
Bila dikaji lebih jauh lagi, terkait dengan vaksinasi Covid-19 maka karakteristik publik terbelah menjadi beberapa cluster, berdasarkan hasil jajak pendapat Kompas (28/1) ditemukan bahwa antusiasme publik untuk divaksin sebesar 38.2 persen. Sementara sisanya berpencar menjadi mau divaksin tetapi tidak saat ini (17.2 persen), ragu-ragu (22 persen) hingga kurang berminat (16.3 persen) dan sangat tidak berminat (6.3 persen).
Menggunakan data di atas, kita tampaknya memerlukan strategi baru dalam memastikan keberhasilan vaksinasi. Basis kelompok yang dibutuhkan untuk mencapai kemampuan pembentukan kekebalan kelompok (herd immunity) menyasar target vaksinasi sebanyak 70 persen populasi.
Bila kondisi kalkulasi vaksinasi tersebut tidak tercapai, maka efektivitas dalam proses pembentukan kekebalan publik akan berlangsung dalam durasi yang lebih lama. Bisa dibayangkan pula bagaimana situasi fisik dan psikologis publik bila waktu pandemi semakin memanjang.
Membangkitkan Kesadaran
Persuasi dalam kerangka komunikasi publik harus disusun dalam narasi yang jelas dan sederhana, agar lebih mudah diterima. Bahkan sebelum sampai pada proses vaksinasi, masih ada pula sebagian kalangan yang mempercayai bila Covid-19 adalah hasil konspirasi, yang merupakan bentuk kepentingan bisnis dengan balutan kombinasi dari peran manipulasi media.
Pada sejuta kasus tersebut, terbentuk kesimpulan dasar, Pertama harus disadari bahwa Covid-19 itu nyata dan berada diantara kita saat ini. Tingkat infeksi serta kematian yang cepat menunjukkan efek berbahaya virus, sehingga klaim angka perbandingannya dengan menggunakan kasus lain semisal TBC merupakan model komparasi keliru karena pola penyakitnya yang berbeda.
Kedua penularan wabah ini tak pandang bulu, sudah banyak petinggi negeri bahkan hingga ulama yang terjangkit, sebahagian diantaranya tidak mampu terselamatkan. Kasus Covid-19 sulit dipungkiri lagi dan sudah menjadi sebuah realitas, jangan menganggap remeh. Banyak bukti nyata yang dapat terlihat di sekitar kita.
Opsi lockdown yang dalam implementasi praktis dijalankan melalui Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau saat ini dikenal sebagai Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat -PPKM memang berhadapan dengan situasi dilematis pada kerangka ekonomi, dalam hal itu konsep kepemimpinan diuji.Â
Leiden is lijden atau memimpin adalah menderita dalam perspektif Haji Agus Salim. Para pemimpin di semua level harus mampu merumuskan keseimbangan yang menjamin perlindungan seluruh warga bangsa sebagaimana amanat yang termuat dalam gagasan preambule, pembukaan konstitusi.
Disisi lain, publik harus pula menaruh kepercayaan dan membangun solidaritas sosial untuk memastikan keberhasilan program bersama. Kalimat no one is safe, until everyone is berada dalam pemaknaan bahwa tiada yang dapat selamat, tanpa adanya kolaborasi dan kebersamaan.
Panasea dan Terra Incognita
Vaksin dan vaksinasi adalah buah ilmiah hasil karya dari ilmu pengetahuan untuk melawan pandemi. Tetapi vaksin juga bukan solusi tunggal yang utuh layaknya panasea atau obat mujarab segala situasi, melainkan menjadi alat bantu yang melengkapi berbagai bauran strategi mengatasi penularan wabah.
Padanan sempurna dari kehadiran vaksin tetap membutuhkan disiplin akan protokol kesehatan, serta penguatan sistem kesehatan nasional sebagai pelengkap pertahanan. Pandemi Covid-19 adalah hal yang tidak terduga, merupakan wilayah pengetahuan baru yang sebelumnya tidak dikenali serta tidak diketahui oleh umat manusia (terra incognita).
Karena itu pula, maka persoalan vaksin dari keterbatasan teknis, pada varian aspek struktural hingga kultural perlu menjadi perhatian serta bahan perbaikan.Â
Pada aspek struktural, proses pengelolaan data sasaran terintegrasi hingga tahapan teknis vaksinasi harus dimuat secara terperinci. Melibatkan seluruh pihak dalam memastikan cakupan bagi keberhasilan program vaksinasi.Â
Proses koordinasi pusat dan daerah hingga unit terkecil harus mampu bergerak bersama guna mencapai serta menjangkau target yang telah ditentukan. Kepemimpinan dan kedisiplinan menjadi faktor pembeda.
Sedangkan di tingkat kultural, perlu ada upaya persuasi untuk sampai pada kesadaran -kognitif, membangun perasaan -afektif hingga kemauan bertindak -konatif dengan kesatuan narasi yang serempak secara seragam dari para role model yang menjadi panutan publik.Â
Menyusun ulang pondasi kepercayaan --trust dari keterbelahan pasca polarisasi politik jelas membutuhkan upaya yang lebih besar secara menyeluruh, dan hal ini merupakan hasil yang dituai dari pragmatisme politik kekuasaan.Â
Lagi-lagi para pemimpin memiliki peran signifikan serta tidak bisa berkelit guna mengatasi permasalahan yang sebelumnya mereka tabur.
Di antara panasea dan terra incognita kita meniti keseimbangan baru, sebuah norma baru bersama.Â
Pandemi harusnya membangkitkan pemahaman serta kesadaran bersama bahwa upaya untuk sampai di pintu kemerdekaan hanya akan terwujud bila kita tidak tercerai berai.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H