Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Menyelami Makna Melalui Komunikasi Sastra

10 November 2020   05:08 Diperbarui: 10 November 2020   05:32 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Puncak ekspresi dari kemampuan berbahasa manusia, tertuang melalui karya sastra. Karena itu pula sastra disebut sebagai produk budaya. Tidak hanya menjadi sarana artikulasi dari sebuah tujuan, tetapi juga memiliki vibrasi makna yang bersifat mendalam dan reflektif.

Pekan lalu, sebuah buku Komunikasi Sastra, Syair, Pantun, Puisi dalam Perspektif Islam, 2020, karya Heri Budianto, hadir menghiasi khasanah ruang sastra nusantara. Siapa sangka, bila penulisnya yang dikenal pakar komunikasi politik itu tampak lihai menjalin rangkaian kata puitis.

Tengok penggalan syair Insan Khilaf, h.10,

Kita itu insan khilaf dan pendosa..

Mustahil tak ada kita yang tak berdosa..

Kita dicipta bersamaan kebaikan dan keburukan..

Itulah manusia..

Bahkan dalam potongan yang pendek tersebut, resapan maknanya justru meluas. Terutama pada upaya penemuan kembali fitrah kehidupan, dan hakikat manusia dalam kemanusiaan. Termasuk pertalian antara makhluk dan Sang Khalik.

Mungkin juga karena latar adat Melayu, maka ada pula bibit pujangga yang tersemat pada penulisnya. Bingkai khazanah pemikiran Heri Budianto, Doktor Ilmu Komunikasi dan Direktur Eksekutif PolcoMM Institute yang lebih banyak mengurusi persoalan politik tanah air, ternyata mampu mengalir melalui karya sastra.

Meski begitu, lintasan sastranya pun kritis pada ranah kehidupan politik, ragam tema dalam bukunya tersebut memperlihatkan bentang pemahaman yang meluas dari penulisnya. Lihat saja pada syair, Kekuasaan, h.49.

Kekuasaan itu memang memikat..

Kekuasaan itu menaikan martabat..

Kekuasaan kadang membuat kita nekat..

Wahai kita..

Kekuasaan itu jangan dicari..

Tergambar jelas bagaimana kritik terbuka tersemat dalam larik-larik tersebut. Bait yang terbentuk menyampaikan pesan tentang jerat kekuasaan dalam jebakan hasrat duniawi, berhadapan dengan kewajiban menjaga amanah.

Tidak mudah menyusun argumen gugatan yang terstruktur dalam runtutan syair. Bentuk sastra hadir sebagai format seni, memenuhi ruang estetik tetapi membawa nilai-nilai etik, karenanya sastra yang adiluhung menguatkan norma.

Membaca keseluruhan buku tersebut, seolah beroleh ilustrasi ruang kebebasan Heri Budianto dalam mengolah pengalaman empirik kehidupannya yang hendak dibagikan kepada pembaca. Merentang dari bakti pada orang tua, nasihat diri, hingga hal-hal keseharian.

Lihat saja dalam puisi Badai, h.89,

Gemuruh rumahku..

Hempasan tak tentu

Kreek, kreek..

Atap rumah berdetak..

Terus bergerak..

Rasa tak tentu..

Kali ini pencapaian Heri Budianto, agaknya sudah sampai pada tahap puncak, atau yang disebutnya sebagai titik balik. Merujuk teori Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow, nampaknya menapaki fase aktualisasi diri. Butir perenungan yang mendalam menghadirkan karya sastranya.

Tidak hanya berbalut keindahan semata, tetapi memberi ruang jeda bagi jiwa untuk bisa meresapi makna, diperkuat serta diperkaya melalui berbagai kutipan Al Quran dan Hadits.

Ketahuilah bahwa kenangan bersama kesabaran, dan kemudahan bersama kesulitan -HR Tirmidzi, h.19

Sekali lagi, apresiasi perlu disampaikan atas terbitnya buku Komunikasi Sastra, Syair, Pantun, Puisi dalam Perspektif Islam karya Heri Budianto, tentu saja dalam upayanya membuka cakrawala pemikiran kita, untuk kembali menuju kesejatian diri sebagai hamba dalam kuasa Ilahi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun