Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Trump dan Komunikasi Suara Tersembunyi

5 November 2020   11:53 Diperbarui: 5 November 2020   19:06 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

KETAT. Trump membalik semua prediksi tentang kemenangan mudah Biden. Persis sebagaimana kemenangan di Pilpres 2016, radar dari berbagai lembaga survei ternyata tidak mampu membaca pergerakan dinamis para pemilih secara pasti. Lagi-lagi Trump adalah pencetak sejarah.

Tentu proses akhirnya perlu ditunggu, hingga babak final dinyatakan selesai. Meski Biden sementara unggul dengan 264 -membutuhkan 6 suara elektoral tambahan untuk sampai ke batas kemenangan 270, fenomena Trump yang masih mampu melakukan perlawanan sengit perlu menjadi pelajaran berharga.

Ternyata soliditas basis pendukung masing-masing kandidat masih terkonsolidasi dengan baik, pasca Pilpres 2016. Dengan begitu medan pertarungan terjadi di beberapa negara bagian yang disebut swing state -dengan karakter pemilih tentu saja swing voters, bergantung persetujuan pada tema kampanye.

Kalau sempat melihat sengitnya dua babak debat Pilpres Amerika, tampaknya memang kemampuan retorika Trump sebagai orator lebih dominan dibandingkan Biden. Karena itu pula, format tampilan debat kedua memberikan kuasa tombol mute kepada moderator acara, agar tidak terus diinterupsi.

Profil pemilih yang terpetakan sementara memperlihatkan (Republika, 5/11), konsentrasi dukungan pada Trump dikontribusi pemilih lelaki kulit putih berusia di atas 45 tahun dan berpendidikan. Hal ini menguatkan premis Trump pada tagline Keep America Great dan supremasi kulit putih diterima publik.

Dengan begitu, slogan Biden yang Build Back Better dengan menonjolkan kelemahan Trump dalam mengatasi pandemi sesungguhnya tidak terlalu banyak memberi dampak. Sokongan suara bagi Biden terkonstruksi pada pemilih perempuan, kulit berwarna dengan usia di bawah 40 tahun.

Gagasan tentang tawaran untuk keluar dari konservatisme ala Trump, dan lepas dari perangkap kebuntuan ekonomi akibat pandemi Covid-19 menjadi penguat pilihan bagi kelompok pendukung Biden, prinsipnya "asal bukan Trump". Biden mendapatkan keuntungan dukungan karena Covid-19? Tentu saja.

Pandemi menjadi batu sandungan bagi Trump, termasuk akibat berbagai kontroversinya tentang yang disebutnya sebagai virus China dan pendekatan non ilmiah yang dibuat seperti soal masker, yang pada akhirnya membuat Trump terinfeksi Covid-19, meski kemudian mengalami recovery yang luar biasa. Ketangguhan Trump mengalahkan Covid-19, agaknya tidak cukup mampu membawa dampak elektoral.

Atraksi Trump di Twitter

Kemampuan Trump untuk tetap memberikan tekanan pada Biden, terlihat dari kejar mengejar angka perolehan suara. Tidak bisa dipungkiri, Donald Trump adalah Presiden yang tampil secara ekspresif dan eksis di media sosial, khususnya Twitter. Ketik saja "Trump" di Google, ada 1,39 miliar hasil temuan.

Sementara itu, di Twitter Trump adalah politikus dengan jumlah follower 88 juta, atau yang kedua terbesar setelah Obama -124 juta. Dalam profilnya di Twitter, Trump menautkan portal website dan menuliskan Presiden ke 45 Amerika Serikat. Hebatnya Trump hanya mem-follow 50 orang saja, dibanding following Obama yang 559 ribu. Lebih dari itu, cuitan Trump jauh lebih massif sebanyak 58 ribu, berbanding Obama dengan 16 ribu twit.

Dengan ilustrasi sederhana itu, konstruksi Trump terlihat mahir menggunakan media sosial untuk terus menyuarakan apa yang dianggap sebagai informasi penting. Eksistensi Trump terlihat dari kemampuan menggunakan intonasi dalam Twitter seperti retweet beberapa informasi yang mendukungnya, ataupun dengan penggunaan huruf kapital yang seolah memberikan penekanan pada penyampaian pesan.

Hal ini pula yang sempat membuat platform media sosial Twitter seolah memiliki ruang konflik dengan Trump, karena beberapa kali cuitan yang disampaikan Trump diberi label dan penanda fact check, terkait beberapa isu yang dianggap masih menjadi perdebatan dan menimbulkan kontroversi publik.

Tidak mudah bagi Twitter untuk bisa menahan Trump, beberapa kali CEO Twitter Jack Dorsey harus melakukan klarifikasi terkait komentar Trump tentang keberpihakan media, termasuk media sosial dalam dukungan politik. Pada akhirnya Facebook sebagai raksasa media sosial pun bertindak serupa.

Psikologi Komunikasi

Mencermati Trump dan perolehan suaranya yang tidak seperti yang ditampilkan melalui berbagai survei pendahuluan, yang seolah akan terjadi "sapu bersih" Biden dapat didekati dengan analisis psikologi komunikasi dengan menggunakan dua pendekatan teori, yakni Disonansi Kognitif, Leon Festinger dan Spiral Keheningan, Elisabeth Noelle-Neumann.

Bagaimana menerangkan hal tersebut? Pertama terkait dengan Teori Disonansi Kognitif, maka responden yang menjadi target sasaran berbagai lembaga survei, terlihat menyembunyikan pandangannya untuk mereduksi potensi ketegangan serta benturan keyakinan dengan wacana arus utama.

Pada aspek psikologi komunikasi, seseorang terjelaskan perilakunya untuk menghindari situasi ketidaknyamanan. Pemilih Trump akan sangat menjaga jarak dalam memberikan pendapat dari opini publik yang telah terbentuk di media, baik media mainstream ataupun media sosial.

Kedua dengan menggunakan Teori Spiral Keheningan, yang secara tipikal memperjelas kondisi sebelumnya, bahwa manusia adalah kuasi statistik sehingga secara kasat mata mampu menghitung dan membaca arah angin opini publik yang terkonstruksi melalui berbagai medium media informasi.

Dengan kemampuan tersebut, terdapat ketakutan untuk terisolasi dari lingkup sosialnya, maka seseorang memperbesar ruang diam, dan cenderung hening ataupun tidak berkomentar serta tidak memperlihatkan pandangan pribadinya terhadap sesuatu hal.

Melalui dua teori psikologi komunikasi tersebut, maka pendukung dalam diam Trump memang telah bulat mendukung petahana untuk bisa kembali duduk di kursi presiden. Kita tentu perlu menunggu hingga peluit akhir dibunyikan, karena siapapun yang nantinya dinyatakan memenangkan kontestasi akan memberi pengaruh pada warna dunia.

Paman Sam masih menjadi negara adidaya sekaligus barometer dunia, meski terus dibayangi China. Di sisi lain, Paman Trump telah memberi warna baru dari peta politik dunia yang sebelumnya di era Obama berwajah multilateralisme menuju proteksionisme dan unilateralisme. Jelas kita tunggu hasil akhirnya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun