Dengan ilustrasi sederhana itu, konstruksi Trump terlihat mahir menggunakan media sosial untuk terus menyuarakan apa yang dianggap sebagai informasi penting. Eksistensi Trump terlihat dari kemampuan menggunakan intonasi dalam Twitter seperti retweet beberapa informasi yang mendukungnya, ataupun dengan penggunaan huruf kapital yang seolah memberikan penekanan pada penyampaian pesan.
Hal ini pula yang sempat membuat platform media sosial Twitter seolah memiliki ruang konflik dengan Trump, karena beberapa kali cuitan yang disampaikan Trump diberi label dan penanda fact check, terkait beberapa isu yang dianggap masih menjadi perdebatan dan menimbulkan kontroversi publik.
Tidak mudah bagi Twitter untuk bisa menahan Trump, beberapa kali CEO Twitter Jack Dorsey harus melakukan klarifikasi terkait komentar Trump tentang keberpihakan media, termasuk media sosial dalam dukungan politik. Pada akhirnya Facebook sebagai raksasa media sosial pun bertindak serupa.
Psikologi Komunikasi
Mencermati Trump dan perolehan suaranya yang tidak seperti yang ditampilkan melalui berbagai survei pendahuluan, yang seolah akan terjadi "sapu bersih" Biden dapat didekati dengan analisis psikologi komunikasi dengan menggunakan dua pendekatan teori, yakni Disonansi Kognitif, Leon Festinger dan Spiral Keheningan, Elisabeth Noelle-Neumann.
Bagaimana menerangkan hal tersebut? Pertama terkait dengan Teori Disonansi Kognitif, maka responden yang menjadi target sasaran berbagai lembaga survei, terlihat menyembunyikan pandangannya untuk mereduksi potensi ketegangan serta benturan keyakinan dengan wacana arus utama.
Pada aspek psikologi komunikasi, seseorang terjelaskan perilakunya untuk menghindari situasi ketidaknyamanan. Pemilih Trump akan sangat menjaga jarak dalam memberikan pendapat dari opini publik yang telah terbentuk di media, baik media mainstream ataupun media sosial.
Kedua dengan menggunakan Teori Spiral Keheningan, yang secara tipikal memperjelas kondisi sebelumnya, bahwa manusia adalah kuasi statistik sehingga secara kasat mata mampu menghitung dan membaca arah angin opini publik yang terkonstruksi melalui berbagai medium media informasi.
Dengan kemampuan tersebut, terdapat ketakutan untuk terisolasi dari lingkup sosialnya, maka seseorang memperbesar ruang diam, dan cenderung hening ataupun tidak berkomentar serta tidak memperlihatkan pandangan pribadinya terhadap sesuatu hal.
Melalui dua teori psikologi komunikasi tersebut, maka pendukung dalam diam Trump memang telah bulat mendukung petahana untuk bisa kembali duduk di kursi presiden. Kita tentu perlu menunggu hingga peluit akhir dibunyikan, karena siapapun yang nantinya dinyatakan memenangkan kontestasi akan memberi pengaruh pada warna dunia.
Paman Sam masih menjadi negara adidaya sekaligus barometer dunia, meski terus dibayangi China. Di sisi lain, Paman Trump telah memberi warna baru dari peta politik dunia yang sebelumnya di era Obama berwajah multilateralisme menuju proteksionisme dan unilateralisme. Jelas kita tunggu hasil akhirnya!