Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Boikot, Strategi Penyampaian Pesan

1 November 2020   14:39 Diperbarui: 2 November 2020   05:08 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Boikot (Shutterstock.com) via kompas.com

Linimasa media sosial ramai. Ajakan untuk melakukan gerakan #Boikot dikumandangkan. Dalam konteks komunikasi, hal ini harus dipahami sebagai bentuk penyampaian pesan non verbal.

Pola distribusi pesan tersebut tampil melalui gerak-gerik dan laku tingkah. Sudah barang tentu, dalam kajian aksi-reaksi, maka bentuk penyikapan #Boikot tidak berdiri sendiri, melainkan bagian dari sebuah rangkaian kejadian yang tidak terpisahkan.

Pro-kontra atas ajakan #Boikot tersebut menjadi bagian yang mewarnai diskusi. Perdebatan di ruang publik, seberapapun kerasnya menjadi wadah pengujian kedewasaan berdemokrasi, problemnya harus terdapat kesadaran untuk memisahkan ruang percakapan dari ekses potensi tindakan kekerasan yang menyertai.

Tindakan kekerasan yang timbul sebagai akibat pelecehan keyakinan Agama perlu dikecam, sebagaimana kecaman juga patut disampaikan pada upaya penghinaan Agama itu sendiri. Perlu sangat cermat dan berhati-hati berbicara di ruang sensitif atas perbedaan nilai spiritualitas keagamaan.

Problemnya, sesuai teori konflik, seharusnya dibuka ruang dialog guna mencapai resolusi. Dengan begitu pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang menyebut Islam sebagai Agama dalam krisis, bahkan akan terus memberikan ruang bagi penguatan sentimen Islamophobia sebagai bentuk kebebasan, jelas merupakan kekeliruan.

Respon balik atas apa yang disampaikan Macron, tentu menjadi lebih menguat pada berbagai negara dengan mayoritas penduduk muslim. Di tanah air, Majelis Ulama Indonesia menyampaikan kecaman dengan seruan boikot.

Demikian pula patut diapresiasi pernyataan resmi pemerintah Indonesia yang mengecam keras peristiwa kekerasan di Prancis, sekaligus meminta agar tidak mengaitkan agama dengan tindakan terorisme. Kedua hal tersebut berbeda dan terpisah.

Strategi Boikot
Berlanjutnya reaksi atas pernyataan Macron, dengan seruan #Boikot yang bergema di media sosial, adalah bentuk ekspresi sekaligus pernyataan sikap yang menegaskan kecaman atas kekeliruan cara pandang Macron. 

Hikayat boikot merupakan bagian kisah dari Charles Boycott seorang tuan tanah di Inggris yang menolak menurunkan harga sewa lahan garapan yang dibalas dengan penolakan menggarap lahan oleh para buruh tani.

Sejarahnya di Nusantara, terbentang sejak zaman Mataram dengan aksi mepe, yakni berjemur dan berdiam serta tidak melakukan apapun sebagai bentuk protes atas suatu hal. 

Pada banyak studi kasus modern, boikot kerap dikaitkan dengan seruan untuk menolak melakukan pembelian untuk suatu tema yang tidak disepakati. Sebelumnya, bahkan produk sawit Indonesia juga diboikot Uni Eropa, terkait dengan isu lingkungan. 

Boikot adalah strategi dalam menyampaikan pesan sekaligus menciptakan ruang keseimbangan. Pada relasi supply-demand dalam konteks ekonomi, suara konsumen kerap terpinggirkan karena dominasi produsen. Karena itu, boikot adalah langkah alternatif yang mengembalikan posisi hak konsumen untuk meminta produsen bertindak secara bijaksana.

Tanda pagar boikot di media sosial adalah hal sejenis, tidak kurang dan tidak lebih. Persoalan persetujuan ataupun tidak setuju, tentu sangat tergantung pada perspektif dan sudut pandang yang dipergunakan. Tetapi dalam aspek komunikasi, boikot tetap menjadi cara -medium berkomunikasi.

Sebagai konsekuensi dari mekanisme saling bergantung dalam arus transaksi ekonomi dunia, mengakibatkan para pihak yang terlibat didalamnya untuk mampu bersikap terbuka guna mendengarkan aspirasi yang disampaikan.

Menariknya, strategi boikot adalah bentuk unjuk rasa dengan mengedepankan sensitivitas untuk memiliki kemampuan merasa, tanpa kekerasan -non violence. Jika strategi boikot dipergunakan, model kombinasinya bisa mengacu pada perlawanan Mahatma Gandhi, pada pergerakan kemerdekaan India.

Prinsip yang saling terkait dalam gerakan nasional Gandhi, merupakan integrasi dari kerangka ahimsa -anti kekerasan, hartal -pemogokan, swadesi -konsumsi produk lokal, dan satyagraha -berpegang pada kebenaran. 

Pola serupa menurut Bung Karno disebut Berdikari -berdiri diatas kaki sendiri, menyiratkan prinsip kemandirian untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. 

Tentu seruan #Boikot kali ini perlu disambut dengan baik, sekaligus menjadi pelajaran penting dalam upaya membentuk hubungan yang setara dan seimbang, termasuk untuk membangkitkan kemampuan dalam negeri untuk mampu dan berdaya dalam kapasitas ekonomi yang mandiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun