Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kaum Rebahan dalam Bingkai Digital

30 Oktober 2020   12:48 Diperbarui: 5 November 2020   04:01 743
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rebahan | Photo by Gaelle Marcel on Unsplash

Revolusi dimulai dari agenda rebahan. Itu tagline generasi santuy. Jadi bila ada yang bertanya apa kontribusi dari milenial? Jelas tidak bisa menggunakan kacamata retro yang klasik. Generasi ini harus dilihat dari kondisi kekinian yang update dan online.

Tetapi ada benarnya juga soal pernyataan, agar para pemuda ini jangan dimanjakan. Jadi, perlu dibagun kemandirian generasi muda, jangan biarkan para penerus bangsa mendapatkan jalur khusus -privilege atas nama besar dinasti dan trah keluarga. Seluruh proses yang dilalui harus dimulai dari awal, menghindari pengistimewaan.

Wejangan ini harus dibaca secara proporsional, agar kaum muda tidak merasa direndahkan, melainkan justru terlecut oleh semangat untuk membuktikan dirinya, yang bahkan jauh lebih baik dari generasi sebelumnya. Cemungud ea.

Melalui pembelajaran sejarah, kita memahami bahwa peran kaum muda menciptakan situasi pembeda. Sumpah pemuda 1928, yang telah 92 tahun silam adalah momentum dari tonggak kesejarahan. Kini diperingati dengan tema "Bersatu & Bangkit", tak lekang dimakan zaman.

Kontribusi pemuda di seputar kemerdekaan, sebagaimana terekam oleh Benedict Anderson dalam Bukunya Revoloesi Pemoeda  Pendudukan Jepang dan Perlawanan Pemuda 1944-1946, memberikan gambaran utuh bagaimana momentum proklamasi kemerdekaan dicetuskan melalui serangkaian gerakan kaum muda, hingga terjadi peristiwa Rengasdengklok.

Pada perjalanannya, pasca kemerdekaan, berbagai momentum juga melibatkan peran serta kaum muda. Transisi Orde Lama ke Orde Baru 1965-1966, juga dipelopori gerakan muda, termasuk pelajar dan mahasiswa. Tidak berhenti disitu, peristiwa Malari, 1974 yang menolak berbagai pembangunan mega proyek termasuk modal asing, hadir sebagai andil para pemuda.

Hingga fase Reformasi, 1998, yang ditandai dengan runtuhnya bangunan kekuatan politik Orde Baru telah solid, juga terjadi karena tekanan dan kerja gerakan kaum muda. Pada setiap latar sosial politik yang berkembang, kaum muda memainkan peran dan kontribusinya, tidak bisa disangkal lagi.

Milenial yang Digital
Dunia terus berubah secara dinamis. Karakter setiap generasi tidak berubah. Pemuda tetap menjadi entitas sosial yang selalu mampu beradaptasi dengan perubahan. 

Merujuk, kutipan indah Master Oogway dari film Kung Fu Panda, kemarin adalah masa lalu, sementara masa depan adalah misteri, maka hari ini adalah sebuah hadiah -"yesterday is history, tomorrow still a mystery, but today is a gift. That is way it's call a present".

Setiap periode masa ada pelaku sejarahnya, dan pemuda selalu menjadi pembedanya. Mereka adalah hasil konstruksi dan bentukan dari jaman yang melingkupinya. Di era digital, koneksi internet yang semakin baik, dunia online adalah ruang realitas baru selaras laku jaman.

Milenial dan generasi setelahnya, adalah digital native yang hidup pada masanya. Menggunakan ukuran sepatu yang sama bagi kaki yang berbeda jelas kekeliruan. Dalam era digital, yang membentuk komunitas jaringan, dimana persebaran informasi terjadi secara masif dan realtime, terdapat keberlimpahan waktu luang.

Produktivitas tidak bisa lagi diukur secara fisik, bahkan seiring dengan pandemi, kita dipaksa untuk memperkuat struktur kehidupan digital, dimana segala sesuatu dikerjakan di ruang privat yakni di rumah-rumah kita. Maka relevansi kebaharuan untuk memahami generasi milenial, harus juga di re-update.

Milenial yang nampak apatis, hidup dengan dunianya sendiri, bahkan terkesan apolitis yang alergi bila berhadapan dengan isu-isu politik, bukan tidak tertarik untuk bersuara. Tetapi lagi-lagi dengan gaya dan cara-cara baru. Media sosial menjadi bentuk baru ruang ekspresi publik.

Banyak kritik mengemuka, dan sebagaimana biasa kaum muda tidak perlu ambil peduli untuk itu. Seperti misalnya, jarang membaca, tidak terlibat dalam diskusi pemikiran yang mendalam, bertindak sesuka hati dengan kecenderungan merusak, itu jelas image yang terkonstruksi. Tetapi pemuda adalah produk zaman.

Bisa jadi generasi kali ini mengalami kesulitan membaca literatur tebal dalam buku yang lebih dari 200 halaman, tetapi mereka mampu memahami, bercakap serta meringkas dalam 160 karakter pada platform media sosial. Diskusi filosofis menjadi lebih receh. Bahkan poster dengan diksi akademik berubah menjadi meme.

Petisi online, hingga persetujuan digital melalui mekanisme like, share hingga retweet dan hashtag menjelma. Dengan begitu demonstrasi atas revisi UU KPK sampai penolakan Omnibus Law Cipta Kerja adalah karya milenial. Unjuk rasa dan kerusuhan, harus dilihat secara berbeda dan terpisah. Tidak bisa digeneralisasi dan disamakan.

Mungkin juga tulisan ini sudah terlalu panjang menjelaskan kiprah milenial, tanpa upaya glorifikasi. Tetapi sudah sepantasnya gelanggang kehidupan bersama diberikan sebagai ruang gerak bagi tumbuh dan berkembangnya generasi masa depan. Panjang umur perjuangan, tetap santuy sambil rebahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun