Produktivitas tidak bisa lagi diukur secara fisik, bahkan seiring dengan pandemi, kita dipaksa untuk memperkuat struktur kehidupan digital, dimana segala sesuatu dikerjakan di ruang privat yakni di rumah-rumah kita. Maka relevansi kebaharuan untuk memahami generasi milenial, harus juga di re-update.
Milenial yang nampak apatis, hidup dengan dunianya sendiri, bahkan terkesan apolitis yang alergi bila berhadapan dengan isu-isu politik, bukan tidak tertarik untuk bersuara. Tetapi lagi-lagi dengan gaya dan cara-cara baru. Media sosial menjadi bentuk baru ruang ekspresi publik.
Banyak kritik mengemuka, dan sebagaimana biasa kaum muda tidak perlu ambil peduli untuk itu. Seperti misalnya, jarang membaca, tidak terlibat dalam diskusi pemikiran yang mendalam, bertindak sesuka hati dengan kecenderungan merusak, itu jelas image yang terkonstruksi. Tetapi pemuda adalah produk zaman.
Bisa jadi generasi kali ini mengalami kesulitan membaca literatur tebal dalam buku yang lebih dari 200 halaman, tetapi mereka mampu memahami, bercakap serta meringkas dalam 160 karakter pada platform media sosial. Diskusi filosofis menjadi lebih receh. Bahkan poster dengan diksi akademik berubah menjadi meme.
Petisi online, hingga persetujuan digital melalui mekanisme like, share hingga retweet dan hashtag menjelma. Dengan begitu demonstrasi atas revisi UU KPK sampai penolakan Omnibus Law Cipta Kerja adalah karya milenial. Unjuk rasa dan kerusuhan, harus dilihat secara berbeda dan terpisah. Tidak bisa digeneralisasi dan disamakan.
Mungkin juga tulisan ini sudah terlalu panjang menjelaskan kiprah milenial, tanpa upaya glorifikasi. Tetapi sudah sepantasnya gelanggang kehidupan bersama diberikan sebagai ruang gerak bagi tumbuh dan berkembangnya generasi masa depan. Panjang umur perjuangan, tetap santuy sambil rebahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H