Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Tantangan Sistem Kesehatan Nasional Pasca Pandemi

20 Oktober 2020   15:17 Diperbarui: 21 Oktober 2020   07:41 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pandemi menghadirkan kondisi yang serba ambigu. Publik berharap akan hadirnya vaksin untuk mengakhiri Covid-19, pada sisi yang lain publik juga masih bertanya tentang aspek keamanannya. Kondisi ini jelas memperlihatkan pilihan-pilihan yang tidak mudah berhadapan dengan pandemi.

Sudah sejak jauh hari, Dr Tedros Dirjen WHO menyebut bila keberadaan pandemi membuka lebar mata kita tentang pentingnya kesehatan sebagai arus utama, terlebih bagi terciptanya akses dan sistem kesehatan dasar yang setara dan berkeadilan. Derajat ketahanan kesehatan nasional menjadi pembeda.

Sebelum pandemi datang di tanah air, problem kesehatan telah terlebih dahulu mengemuka sebagai isu yang dari waktu ke waktu terkait dengan faktor politik. Tidak heran kemudian, tema mengenai kebutuhan dasar, seperti pendidikan dan kesehatan selalu menjadi janji kampanye dalam proses elektoral pemilihan para pemimpin politik.

Publik memuat harapan pada mekanisme politik untuk menyuarakan aspirasi dan kebutuhannya, meski terkadang jauh panggang dari api. Program di masa kampanye menjadi suatu hal yang berbeda dari janji realisasinya. Sesungguhnya permasalahan terbesarnya terletak pada kemauan politik -political will.

Pandemi hadir dengan ancaman kehilangan nyawa, dalam durasi rentang waktu yang singkat dengan tingkat penularan kasus yang tinggi. Wabah ini bersifat global, dalam skala sangat luas dan untuk itu istilah pandemi dilekatkan pada infeksi Covid-19.

Seluruh problem kesehatan sesungguhnya berada di rentang pilihan hidup dan mati. Hal itu terlihat dari jenis dan pola penyakit yang dapat terbaca melalui peta layanan program BPJS Kesehatan. Dengan menggunakan ilustrasi pandemi, dan sesuai dengan saran Dr Tedros sudah seharusnya terdapat upaya serius dan fokus pada penguatan sistem kesehatan dasar nasional.

Kita harus mulai membayangkan untuk bersiap berhadapan dengan pandemic selanjutnya, demikian sebut Dr Tedros. Bila tidak terbentuk sistem kesehatan yang tangguh, maka pandemi akan menjadi siklus dari perulangan bencana kemanusiaan. Karena pandemi menyisakan ruang seleksi alam -survival of the fittest bila kita tidak mampu mempersiapkan strategi dan skenario terbaik menghadapinya.

Kehidupan bersama, menjadi ruang untuk tumbuh dan berkembang secara bersama pula. Karena itu, sebut Dr Tedros, harus terdapat rencana guna menyelamatkan mereka yang terkategori sebagai kelompok rentan, agar tidak berhadapan dengan kondisi fatal, hal itu menjadi pekerjaan rumah.

Tentu alur cerita pandemi akan menjadi berbeda, bila kita telah mempersiapkan diri untuk berhadapan dengan kemungkinan terburuk dari potensi pandemi di masa mendatang. 

Jauh sebelum Corona merajalela, sistem kesehatan nasional masih terus berhadapan dengan problem defisit pembiayaan BPJS Kesehatan, dan situasi itu berpotensi menjadi ganjalan bagi keberlangsungan program.

Keberadaan BPJS Kesehatan adalah manifestasi riil dari upaya memberikan perlindungan langsung bagi seluruh warga negara. BPJS Kesehatan menghadapi persoalan hidup dan mati, tidak hanya bagi pesertanya, tetapi juga bagi keberlanjutan agenda kesehatan nasional tersebut. 

Persoalan yang terkait dengan kualitas hidup manusia ini, harus mampu dipecahkan untuk bisa mewujudkan dimensi peningkatan mutu penduduk secara nasional.

Tarik ulur kepentingan kesehatan dan pilihan ekonomi, sebagaimana pandemic Covid-19, memperlihatkan belum utuhnya kita dalam melihat dimensi kesehatan sebagai faktor penting kekuatan kehidupan bernegara, dengan bertumpu pada kualitas sumber daya manusia.

Terombang-ambing di Pusaran Politik

Kemampuan bangsa-bangsa yang dapat mengatasi pandemi, terlihat dari geliat ekonomi. Sementara itu, hingga kini, kita berada di simpang perlintasan dalam dua kutub yang besar, ekonomi dan atau kesehatan. Pilihan yang tidak bersifat biner, melainkan hendak diringkas secara bersamaan. Jelas tidak mudah, karena harus mampu menjaga keseimbangan diantara keduanya.

Pokok pentingnya terletak pada kemampuan pengambilan kebijakan secara dinamis sesuai dengan kondisi kebutuhan yang diperlukan. Plus kemampuan untuk membangun rasa kepercayaan publik dalam mendukung langkah dan program kebijakan yang telah diambil tersebut.

Kasus Swedia yang disebut mampu mengendalikan infeksi Covid-19 tanpa menerapkan lockdown adalah ilustrasi yang mendekati kondisi tersebut. Publik percaya akan pilihan kebijakan yang dibentuk oleh pemangku keputusan, akan berjalan selaras dan harmonis untuk mencapai tujuan yang diharapkan. 

Publik disana mampu diyakinkan untuk bersikap mempercayai para pengambil keputusan, karena telah terbukti menjalankan roda kepentingan berdasar kehendak publik. Kita jelas perlu belajar banyak untuk hal itu.

Isu kesehatan selalu menjadi bagian dari pembahasan politik, tidak terkecuali untuk seluruh masalah kesehatan nasional, termasuk pandemi dan BPJS Kesehatan. 

Posisi akhir dari masalah BPJS Kesehatan sebelum menghilang karena mencuatnya Covid-19 adalah tentang kenaikan premi yang kembali naik setelah sempat dibatalkan melalui putusan Mahkamah Agung.

Situasi ini jelas memperlihatkan persoalan komitmen kita untuk menyikapi agenda kesehatan sebagai masalah bersama. Hal itu terlihat dari analisis di media sosial terkait dengan BPJS Kesehatan misalnya yang direkam dengan menggunakan tools droneemprit.id berbasis twitter dengan pelacakan atas persepsi netizen atas kenaikan iuran BPJS Kesehatan, dari 1.400 percakapan yang di capture, sentimen negatif atas isu tersebut mencapai 93 persen, sebuah nilai nyaris mutlak.

Format percakapan yang dianalisis melalui mesin droneemprit.id memperlihatkan bila pola percakapan bersifat natural, dimana intervensi Bot untuk membentuk suatu sentimen tertentu tidak terjadi secara korelasional. 

Lebih jauh lagi, analisis atas #tagar dan pilihan kata yang dipergunakan melalui pembacaan droneemprit.id memperlihatkan bila isu BPJS Kesehatan tidak terlepas dari pembicaraan politik, termasuk terkait dengan rencana Pilkada serentak 2020, dimana para kandidat mempergunakan isu kesehatan menjadi bagian dari strategi kampanye.

Format politik populis dengan mengangkat tema kampanye yang menyentuh kepentingan publik adalah sarana untuk mendapatkan simpati dan dukungan. 

Meski kemudian lagi-lagi, bisa jadi publik pemilih kecewa, karena dalam praktiknya problem kesehatan tidaklah benar-benar menjadi dasar kepentingan untuk membangun kekuatan hidup bersama. Di sanalah tantangan bagi pemenuhan akses kesehatan nasional perlu segera dibenahi, lebih dari sekedar janji kampanye.

Situasi ini pula yang mungkin dapat menjelaskan mengapa hasil Survei Litbang Kompas (20/10) yang memperlihatkan 52.5 persen responden menyatakan ketidakpuasan pada momen setahun kepemimpinan nasional. Inilah momen reflektif kekuasaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun