Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Komunikasi Krisis di Panggung Drama Politik

9 Oktober 2020   07:27 Diperbarui: 9 Oktober 2020   12:55 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berlawanan, ada ruang senjang antara tujuan yang diformulasikan dalam peraturan, dengan realitas yang ada dalam persepsi khalayak. 

Undang-Undang yang disahkan itu bernama Cipta Kerja, seharusnya disambut dengan gembira sebagaimana judulnya. Mengapa penolakan massif di berbagai tempat justru terjadi?

Melalui pendekatan ilmu komunikasi, kita dapat melihat terdapatnya kegagalan dalam menyampaikan pesan kepada publik. 

Menggunakan konsep komunikasi krisis, maka bentuk perlawanan publik muncul sebagai akibat kelemahan dalam mempersiapkan mitigasi risiko.

Sebelum berubah menjadi UU Cipta Kerja, terlebih dahulu dikenal sebagai RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka). 

Penyebutan nama singkat RUU tersebut dianggap bermasalah, istilah "Cilaka" seolah menjadi padanan yang setara dari kata celaka, bermakna kesulitan dan kesusahan. Keberadaannya membawa kesialan.

Kajian ini, hendak melihat proses pergulatan komunikasi yang seharusnya terjadi. Urusan terkait substansi, legalitas dan benturan konstitusi diserahkan kepada para pakar hukum. 

Merunut pada prosesnya, pembentukan peraturan memang akan melibatkan aspek komunikasi sejak mulai perumusan, penyusunan hingga pelaksanaan.

Makna penting sebuah peraturan adalah memberikan keteraturan dan pengaturan, dengan begitu ada keterangan yang jelas mengenai subjek dan objek yang akan diatur. 

Substansi permasalahan peraturan muncul dari problematika publik, maka di bagian awal upaya menjaring permasalahan dilakukan dengan menerima aspirasi seluas mungkin.

Kemampuan mendengar, melihat, dan mencermati menjadi keutamaan. Rangkaian proses komunikasi selanjutnya adalah melakukan audiensi para pihak terkait, khususnya pada mereka yang terkait langsung pada susunan peraturan yang akan dibuat. Prinsip utama komunikasi adalah kejujuran dan transparansi, serta membentuk keseimbangan kepentingan.

Setelah penyusunan peraturan, maka tahap pelaksanaan membutuhkan ruang komunikasi untuk melakukan adaptasi dan sosialisasi. Fase ini menjadi pembuktian, apakah peraturan yang dibuat selaras dengan tujuan utamanya. Persuasi publik dilaksanakan bertahap. Kredibilitas dan integritas dari pembuat kebijakan, sekaligus diuji.

Krisis Antisipasi
Sejatinya, sudah nampak sejak jauh-jauh hari keberadaan RUU ini mendapatkan sorotan hangat di publik. Perdebatan mengemuka, ruang wacana berkembang. 

Bersamaan dengan itu, pandemi datang, namun tidak menghentikan laju pembahasan yang dilakukan, bahkan terjadi percepatan pembahasan. Pada tahap awal ini, potensi krisis masih dalam level minor. 

Tentu tidak heran, dengan skema hukum omnibus law yang merangkum berbagai peraturan secara saling berhubungan, menghasilkan draft yang beredar dalam 900 halaman. Selayaknya buku babon, rancangan peraturan ini akan menjadi pegangan dasar sebagai sumber rujukan.

Problemnya, model komunikasi yang dibuat dalam periode perumusan dan penyusunan agaknya lebih banyak berlangsung secara satu arah (monolog). Padahal jika pendekatan dilakukan dengan format komunikasi dua arah (dialog) terdapat potensi untuk menjalin kesepahaman yang setara.

Lebih jauh lagi, kekacauan bertambah keruh dengan melibatkan peran penguat pesan di media sosial, beberapa influencer dan buzzer menyuarakan hal yang dianggap sesuai dengan kepentingan pihak penyusun regulasi. Pilihan strategi ini seakan menjadi cara untuk memenangkan dominasi isu di publik.

Bahkan, kerangka formulasi RUU tersebut juga dilakukan penilaian jajak pendapat oleh lembaga survei. Hasilnya, memperkuat dukungan bagi pembentukan lebih lanjut RUU Cipta Kerja. 

Logika publik melihat korelasi antar kejadian yang berjalan beriringan tersebut sebagai agenda tersembunyi. Di titik ini fase krisis menjadi aktual dan muncul ke permukaan.

Sejalan dengan perkembangan tahapan krisis, model antisipasi tidak juga dikembangkan. Publik menyusun premisnya tersendiri. Kepentingan sepihak, masuk dalam kerangka regulasi, diperkuat narasinya melalui influencer, seolah dipertegas dengan menggunakan hasil survei. Muara akhir dari sebuah krisis adalah hilangnya kepercayaan (trust), hal itu akan merusak reputasi dari pihak yang dianggap bermasalah.

Sudah sejak krisis mengemuka secara aktual, berbagai elemen masyarakat sipil mengutarakan pendapat, termasuk mempertanyakan naskah akademik yang menjadi dasar bagi kepentingan pembentukan sebuah peraturan baru. Alih-alih direspon, justru seluruh proses pembentukan berlangsung dengan cepat. Maka respon publik dapat dibaca sebagai mosi ketidakpercayaan.

Panggung Drama
Bila proses komunikasi mengacu konsep Dramaturgi Erving Goffman, maka peran para aktor di panggung depan (front stage) harus bisa memuaskan khalayak. 

Lantas, jika keputusan pengesahan peraturan diibaratkan sebagai panggung drama, maka di sisa babak pertunjukan apakah akan berakhir happy ending atau sebaliknya?

Pertarungan wacana dan krisis yang memuncak, mengharuskan para pihak yang terlibat di dalam konflik, memulai kembali mengurai proses komunikasi terbuka untuk mencapai resolusi akhir. Tentu semua pihak berharap, sebagaimana judulnya UU Cipta Kerja, akan mampu membuka pintu gerbang kesejahteraan bangsa, dengan menciptakan sebanyak mungkin lapangan kerja.

Dalam tahap akhir komunikasi krisis, kesepahaman dan persetujuan akan menjadi langkah terbaik, agar kondisi yang tercipta tidak memperparah fase krisis serta menimbulkan kerusakan yang lebih luas. Lagi-lagi proses komunikasi dibutuhkan, tidak hanya untuk menjelaskan, tetapi sekaligus menenangkan.

Jalinan komunikasi di periode krisis, diartikan sebagai upaya untuk membangun kepercayaan, dan untuk menciptakan rasa percaya diperlukan pembuktian. 

Publik yang kerap kali kecewa dan dikecewakan oleh perilaku elite, secara psikologis kehilangan kemampuan menaruh rasa percaya. Situasi ini membutuhkan upaya pemulihan atas trauma publik. Para elite harus memahami itu.

Bila kemudian puluhan menteri dari kabinet pemerintah, beramai-ramai melakukan upaya penjelasan melalui konferensi pers, sebagaimana yang telah dilakukan, agaknya hal itu menjadi langkah yang terlambat dalam menjawab berbagai pertanyaan publik selama ini. 

Pada situasi pandemi, seiring dengan menyusutnya pertumbuhan industri serta ekonomi, polemik UU Cipta Kerja harus diakhiri. 

Berkonsentrasi pada penuntasan pandemi (fight to flatten) dan bersiap untuk menghadapi pasca pandemi (future), bila kebijakan yang diambil keliru dalam mempersiapkan kondisi-kondisi tersebut, bukan tidak mungkin kondisi pemulihan (recovery) akan membutuhkan waktu yang lebih lama lagi. Segera perbaiki!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun