Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pilkada Serentak, Jangan Tanggung-tanggung

26 September 2020   12:22 Diperbarui: 26 September 2020   12:24 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulat. Keputusan untuk tetap melanjutkan Pilkada serentak pada 9 Desember 2020, sudah dinyatakan para pemangku keputusan. Prinsipnya sederhana, tidak ada lagi penundaan untuk kedua kalinya. Sesungguhnya momentum Pilkada sudah dimundurkan dari jadwal semula 23 September. Demokrasi dan pandemi menjadi diskursus utama, persepsi kelompok masyarakat sipil dan elit politik berbeda.

Angka dan data penularan Covid-19, tidak memberikan indikasi kemampuan pengendalian. Kurva pertambahan kasus, masih terus meningkat dari waktu ke waktu. Lebih jauh lagi, wabah Covid-19 tidak pandang bulu, dengan begitu sudah terdapat beberapa pejabat tinggi negara yang terjangkit. Sebagian diantaranya sedang berjuang melawan virus, tidak semua beruntung bisa terselamatkan.

Kelompok pengusung pelaksanaan Pilkada menyebut faktor saluran demokrasi dan hak konstitusional yang tidak dapat terus dibatasi, disamping menyoal kekacauan tata kelola pemerintahan di sejumlah daerah. Disisi lain, inisiatif menunda Pilkada yang disuarakan oleh berbagai kelompok masyarakat sipil dengan menimbang kondisi aktual atas persebaran wabah yang terus bertambah.

Disamping itu, terindikasi potensi partisipasi publik yang minimal. Hal itu akan sangat terkait dengan aspek legitimasi kekuasaan. Problemnya pengambilan kebijakan berada diruang politik formal, didominasi serta dikuasai oleh kelompok dalam perahu kepentingan yang sama. Ketiadaan kelompok oposisi pasca Pemilu 2019, menghadirkan realitas wajah politik yang monolitik.

Tanggungan Konsekuensi   

Pertanyaan yang diajukan untuk memikirkan ulang soal penundaan, adalah tentang garansi kapan berakhirnya pandemi? Logika pendek ini, sesungguhnya memperlihatkan jangkauan pandang para pemangku kekuasaan, yang gagal menempatkan politik sebagai upaya untuk mengutamakan kepentingan publik melalui ranah kekuasaan, dan bukan dalam relasi sebaliknya.

Bila pertanyaannya dibalik terkait dengan garansi, apakah dapat pula dijamin bila Pilkada tidak akan menyebabkan terjadinya proses penularan wabah? Setelah satu semester dalam pandemi, kita melihat proses edukasi dan literasi publik dalam penerapan protokol kesehatan masih belum terinternalisasi menjadi sebuah perilaku baru. Lalu bagaimana mekanisme pertanggungjawaban bila penularan terjadi?

Jadi, kedua posisi yang berseberangan tersebut, sama-sama tidak mampu memberikan jaminan kepastian, baik soal kepastian penyelenggaraan Pilkada, maupun kepastian keselamatan publik. Tetapi kita akan merujuk pada kalimat yang sering diulang pada periode pandemic, Salus Populi Suprema Lex Esto, bahwa keselamatan publik adalah hukum tertinggi. Tidak bisa diingkari.

Suara publik memang kerap tenggelam dalam arus pengambilan kebijakan politik. Keputusan finalnya sudah bulat, Pilkada diteruskan dengan berbagai konsekuensi logis yang dihadapinya. Ketentuan teknis sedang disusun, terkait pola kampanye, teknis pemilihan dan berbagai perangkat tambahan. Implikasi logis dari akseptasi risiko, adalah permintaan penambahan anggaran untuk proses pesta demokrasi.

Di tengah kondisi krisis yang dihadapi, dalam konteks ketahanan kesehatan nasional berhadapan dengan pandemi, kita juga menghadapi berbagai krisis di banyak bidang, termasuk ekonomi dan politik. Salah satu yang mudah terlihat adalah kualitas kepemimpinan, dan Pilkada adalah ajang mencari pemimpin yang terbaik. Para pemimpin yang bijaksana, tentu tidak memperturutkan syahwat kuasanya.

Kerawanan Pilkada

Potensi kerawanan pemilihan di masa pandemi, perlu dipetakan secara lebih detail. Tentu pilihan melaksanakan Pilkada menjadi sebuah keniscayaan secara politik riil. Penundaan adalah hal yang nampak mustahil. Bila sudah demikian, apa yang bisa dilakukan? Pengendalian pandemi dan menekan penularan Covid-19 harus bisa diakselerasi, agar grafik melandai sebelum Desember 2020.

Optimalisasi dalam memutuskan rantai penularan, hanya dapat dilakukan dengan dukungan dua hal yang saling terkait, sesuai dengan pernyataan Dr Tedros Adhanom, Dirjen WHO, yaitu, (i) para pemimpin harus memainkan peran kepemimpinan yang berorientasi pada kepentingan kesehatan publik, dan (ii) publik yang bersiap dalam menyambut model perilaku kehidupan yang baru.

Pendekatan melalui kedua hal tersebut, jelas Dr Tedros, hanya akan sinergis bila dilakukan secara bersamaan dan bersama-sama, tidak timpang sebelah. Dalam realitas politik, para pemilik kekuasaan bisa bertindak demi dan untuk kepentingannya, sementara publik dipaksa untuk tunduk dan patuh tanpa terkecuali. Maka kemudian dikenal pameo, hukum tumpul ke atas, tetapi tajam ke bawah.

Lantas apa solusi out of the box yang dapat dilakukan dengan menunggangi agenda Pilkada yang tetap di gas pol kali ini? Analisis situasi saat pandemi, kita masih rendah dalam kapasitas pengetesan -testing dan pelacakan -tracing, bahkan juga terdapat kendala dalam melakukan konsolidasi data yang mengakibatkan kekacauan proses distribusi bantuan selama pandemi.

Hal-hal itu harus diadopsi melalui Pilkada, ketimbang berdebat apakah diperlukan penundaan, karena tendensi besarnya toh tetap akan dilaksanakan. Kontestan dan para pendukung, serta penyandang dana, sebagaimana istilah cukong disinyalir oleh Menkopolhukam tentu tidak bisa menunggu lebih lama. Nilai investasi di ranah politik yang ditanam, harus secepatnya berbuah hasil konkrit pasca Pilkada.

Dengan begitu, Pilkada jangan tanggung-tanggung dijalankan, sekaligus mendukung proses pencapaian testing dan tracing serta konsolidasi data yang valid, dengan, (i) melakukan pemeriksaan kesehatan berbasis gold standar PCR Swab untuk semua, termasuk penyelenggara, peserta, dan pemilih, (ii) melakukan pendataan langsung seluruh pemilih di daerah, sebagai pemutakhiran data kependudukan.

Sekali mendayung dua-tiga pulau terlampaui, karena kepercayaan publik yang menjadi dasar legitimasi akan dapat terbentuk bila ada upaya yang nyata dan serius dalam rangka mengatasi pandemi, bukan sekedar berpesta atas nama demokrasi untuk kepentingan kekuasaan segelintir elit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun