Kehadiran Covid-19 menjadi pembuka kotak pandora dari makna kehidupan manusia. Keberadaan wabah yang bertatus pandemi ini, menyadarkan kita bahwa tidak ada yang lebih penting, dibandingkan dengan kepentingan untuk menjaga eksistensi manusia dan kemanusiaan itu sendiri.
Tedros Adhanom selaku Direktur Jenderal WHO, kembali mengungkapkan hal tersebut dalam status media sosial pribadinya. Lembaga kesehatan dunia, yang kerap dituding bermain dengan konspirasi kepentingan global tersebut, mengingatkan pentingnya akses kesehatan bagi seluruh umat manusia. Health for all, begitu slogan yang dikumandangkan.
Biarlah para pengusung teori konspirasi yang memberikan bukti keterlibatan WHO dalam skema manipulasi isu kesehatan bagi kepentingan elit global. Tulisan ini ditujukan bagi upaya menyusun bangunan pemikiran yang seharusnya terbentuk, dengan basis pijakan refleksi pandemi yang sekurangnya sudah satu semester menghantui dunia.
Jika kembali mengutip Tedros, maka sudah sepantasnya investasi terbesar yang dapat dilakukan berbagai negara di dunia adalah penguatan sistem kesehatan. Hal tersebut menjadi sangat rasional, dengan mempertimbangkan apa yang terjadi pada realitas kehidupan umat manusia saat ini. Pandemi dalam waktu singkat, seolah meruntuhkan pencapaian fisik manusia.
Dengan menggunakan perbandingan tersebut, Tedros seakan hendak menyebut, bahwa telah tiba saatnya untuk berorientasi pada manusia sebagai pusat dari seluruh eksosistem dunia. Tidak ada yang lebih penting selain hidup dan kehidupan umat manusia itu sendiri. Tedros juga mengambil analogi dengan memperlihatkan bagaimana seluruh dunia selama ini justru sibuk meningkatkan anggaran perang.
Ancaman ArogansiÂ
Pada sisi lain, perang fisik merupakan ekspresi dari bagaimana manusia menjadi predator dan menciptakan teror bagi sesamanya -homo homini lupus. Mengingkari kesejatian manusia yang menjadi sahabat bagi manusia lain -homo homini socious. Dunia, sesungguhnya tengah membutuhkan upaya kolaborasi secara bersama, untuk dapat menyelamatkan eksistensi umat manusia dan kemanusiaan.
Pernyataan Tedros itu, bila dilekatkan pada konteks relasi internasional, seolah dihadapkan pada kenyataan hengkangnya Amerika dari partisipasi dan pendanaan WHO, karena menuding lembaga tersebut melindungi kepentingan China yang menjadi tempat awal mula pandemi.
Representasi dari tindakan Amerika memperlihatkan bagaimana arogansi manusia merupakan ancaman riil, yang lebih mengerikan dari sekedar persoalan wabah, bahkan dalam situasi yang sejatinya membutuhkan semangat berkolaborasi dan membangun solidaritas antar bangsa. Hal itu pula yang oleh Filsuf Slovoj Zizek disebut sebagai sifat barbarisme, sebuah sikap destruktif dari kandungan kapitalisme.
Belum selesainya masalah pandemi, memperlihatkan kegagalan dalam meredakan egosime, sekaligus kerapuhan umat manusia untuk melakukan konsolidasi kepentingan bersama. Format kegagalan itu terjadi, ketika manusia yang tersudut saat berhadapan dengan wabah, justru tidak bisa secara optimal mengeluarkan kemampuan terbesarnya, sebagai mahluk sosial -homo socious dan berpikir -homo sapiens.
Padahal keberhasilan untuk keluar dari belit pandemi akan sangat bergantung pada seluruh kontribusi umat manusia dalam menerapkan disiplin protokol sehat. Kita akan mampu melandaikan penularan wabah, jika dan hanya jika kita mampu menjaga kesehatan dan kebersihan diri sendiri, yang bermakna turut menjaga kesehatan manusia lain dalam kehidupan bersama, dan begitu juga sebaliknya.
Kemenangan Bersama
Dalam pandangan Tedros, terdapat hal penting yang perlu segera dilakukan sebelum datangnya vaksin dan obat sebagai penangkal wabah, yakni keterhubungan para pemimpin dan publik yang dipimpin, dalam suatu relasi saling terkait. Bentuk hubungan tersebut harus disandarkan atas rasa saling percaya untuk mencapai suatu harapan bersama yang lebih baik paska pandemi.
Sekurangnya Tedros menyebut, (i) para pemimpin harus segera mengambil langkah-langkah nyata yang konkrit dan serius dalam menghadapi pandemi, dan (ii) publik mulai mengadaptasikan diri penuh kesukarelaan pada situasi dan standar yang baru. Hal tersebut menjadi satu kesatuan yang saling mempengaruhi. Prinsip utamanya, terbangun kemauan untuk bersama melewati periode yang sulit ini.
Menariknya, kajian Edward Aspinall, 2014, Health care and democratization in Indonesia, dalam konsep kesehatan dan reformasi kehidupan politik di Indonesia, mengungkapkan bahwa proses menuju negara yang mengadopsi nilai kesejahteraan termasuk penguatan di dalam sistem pelayanan kesehatan, dibayang-bayangi paradoks terjadinya penyelewengan kepentingan publik.
Boikot oleh elit dan penyimpangan itu terjadi, terlihat melalui berbagai kasus korupsi yang memperdagangkan pengaruh kekuasaan. Namun begitu, tidak dipungkiri bila fase demokratisasi membuka peluang terjadinya proses transparansi dan partisipasi publik yang membuka ruang gelap itu menjadi terbuka. Hal ini harus dijaga agar panggung gelap transaksi kekuasaan semakin dibatasi.
Di bagian akhir, pandemi benar-benar membuka mata kita untuk segera berbenah. Sektor kesehatan yang selama ini tersisih dari pembangunan fisik, meski selalu menjadi bagian dari kampanye politik populer, ternyata belum benar-benar bisa mewujud secara nyata.Â
Kepedulian akan kepentingan untuk menguatkan sistem ketahanan kesehatan kita harus di tata ulang, agar hakikat manusia yang sehat dan sejahtera menjadi tujuan bersama, dan kita menjadi pemenang melawan pandemi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H