Resesi demokrasi. Tidak hanya Covid19 yang menjadi ancaman nyata saat ini. Kehidupan demokrasi juga tengah mengalami hal serupa. Pragmatisme politik terjadi, baik di tingkat partai maupun individu kandidat. Karakter office seeking dari para politikus, yang menjadi pemburu posisi dan jabatan, menjadi semakin nyata terlihat.
Di tengah pandemi, agenda Pilkada serentak tetap akan dilangsungkan pada Desember 2020, meliputi 270 wilayah di Indonesia. Sebuah perhelatan politik yang besar, tentu saja mengumpulkan jumlah massa secara fisik. Padahal, himbauan pencegahan penularan wabah dengan menghindari kerumunan dan menjaga jarak. Kontradiktif.
Jika merujuk hasil survei Indikator 13-16 Juli, sebanyak 63,1 persen responden menyatakan sebaiknya Pilkada serentak ditunda. Hal ini berjarak dengan pernyataan para politisi, yang justru berbicara mengenai kepastian kekuasaan, dan dampak ekonomi akibat momentum Pilkada.Â
Terdapat ruang kosong, antara realitas sosial dengan kehendak elit politik. Ironi tersaji, publik yang berada dalam belitan pandemi, diperhadapkan dengan kehendak pesta demokrasi demi perebutan kursi kekuasaan.
Dengan menggunakan model berpikir yang sebangun atas hasil survei tersebut, maka mudah sekali terbaca bila fokus orientasi publik dari arus kepentingan dominan, yaitu (i) menyoal keselamatan dari sisi kesehatan, dengan terhindar atas penularan wabah, dan (ii) bertahan, sekaligus memastikan kemampuan ekonomi. Publik tidak berpikir tentang kontestasi elit, terutama dalam periode sulit di bekap pandemi.
Formulasi atas seluruh kerangka bangunan berpikir tersebut, membuat incumbent memiliki potensi untuk kembali mencalonkan diri, dengan posisi yang lebih kuat, tentu bila belum habis kesempatan masa keterpilihannya.Â
Petahana yang kembali bertanding membuat partai politik melakukan kalkulasi kepentingan, mendukung atau bertanding? Lagi-lagi pilihan pragmatis lebih kerap mengemuka, dibanding idealisme.
Kluster Elite
Kursi Kepala Daerah yang diperebutkan, adalah simbolisasi dari elit politik di tingkat lokal, sekaligus membuka peta pengaruh partai politik pada suatu wilayah.Â
Hampir sebagian besar tipikal kandidat yang mencalonkan diri berasal dari latar belakang, (i) pengusaha, (ii) birokrat/ pejabat, (iii) militer/ polisi, hingga (iv) akademisi/ profesional. Sirkulasi terbatas terjadi.
Satu yang tidak bisa dipungkiri, agenda Pilkada sering memunculkan anomali koalisi. Faktor penentu penggabungan kekuatan partai politik dalam membentuk pasangan calon, tidak lain adalah soal hitungan kemenangan alias elektabilitas, yang menyangkut soal popularitas dan keterpilihan. Bukan soal gagasan dan platform program serta agenda kerja yang dibawa dalam konsep kepemimpinan daerah.