Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Data, Nyawa, dan Harapan pada Statistik Pandemi

24 Juni 2020   10:06 Diperbarui: 24 Juni 2020   10:09 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Prinsipnya jaga jarak-jaga kesehatan, bagaimana bila daerah padat penduduk? Tentu menjadi lebih rumit.

Kekeliruan ini pula yang agaknya menjadi persoalan, ketika diajukan usulan lomba antar daerah, untuk memberi insentif dalam rangka simulasi new normal termasuk lomba menekan laju penyebaran Covid19.

Model pemberian dukungan finansial dengan format lomba, mengabaikan bahwa apa yang sebelumnya sudah secara tepat dikemukakan dalam artikel Andrinof tentang orientasi nyawa.

Ada mislead dari bentuk program lomba tersebut, dari tujuan besar untuk melawan wabah, dengan memusatkan diri pada kepentingan penyelamatan eksistensi manusia. Selain itu, peran pemerintah pusat untuk memberikan dukungan kepada daerah-daerah, sebaiknya tidak dibatasi hanya karena menang-kalah perlombaan.

Bisa jadi daerah yang tidak ikut serta dalam perlombaan, justru tengah kelimpungan mengatasi persoalan di tingkat lokal, karena pertambahan kasus. 

Begitu pula sebaliknya, daerah yang menang lomba dan mendapatkan insentif, bisa jadi memang sudah dalam fase decline, sehingga bisa lebih berfokus untuk berlomba. Disini ada letak penting untuk memahami duduk soal pandemi, serta menentukan program yang urgent dan prioritas.

Statistik dan Perang Psikologis

Tulisan ini disusun untuk menjadi pengkayaan ragam pemikiran yang boleh jadi berbeda. Tidak ada soal untuk keluar dari mindset arus utama, tetapi sekali lagi kita butuh kepaduan dan kebersamaan untuk keluar dari belitan pandemi.

Situasi ini tidak ubahnya bagaikan perang psikologis, manakala kita lemah dalam menguatkan sugesti untuk menang melawan wabah, kita justru akan saling berperang sendiri.

Dalam teori Kubler Ross, kita mengenal tahapan depresi -depression menuju negosiasi -bargaining yang kerap diisi oleh fluktuasi emosional, bahkan menuding kesalahan orang lain -blaming. Tetapi kita harus terus menuju fase selanjutnya yakni belajar -learning dan berubah -change, untuk bisa melangkah maju secara bijak.

Jangan menyerah kalah, sebelum perang berakhir. Meski berbekal ilmu yang terbatas dan pengetahuan wabah secara minim, keunggulan homo sapiens selain berpikir adalah berkelompok -homo socius, maka tanggung jawab kita untuk menuntaskan pandemi secara bersama-sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun