Bertambah. Grafik kasus Covid-19 masih memberi gambaran menanjak. Belum bertemu titik puncaknya untuk kemudian melandai. Maknanya, kita masih perlu terus berjuang keras, untuk menjinakkan wabah.
Perlu disadari, kompleksitas persoalan pandemi ini dapat dibagi dalam kerangka lokal per daerah, yang secara kumulatif menjadi representasi permasalahan di tingkat nasional. Bentuk wilayah kesatuan yang berkepulauan, membuat aspek lokalitas di setiap daerah berbeda-beda.
Penanganan yang berbeda, sesuai dengan permasalahan tiap daerah penting untuk dilakukan, agar strategi yang dipergunakan efektif mencapai tujuan, dan efisien dalam menggunakan sumberdaya yang dimiliki. Bobot lokalitas, termasuk aspek struktural dan sosio kultural mempunyai pengaruh.
Dengan begitu, dimungkinkan untuk melakukan pendekatan berbasis wilayah, melalui penekanan pada pengetahuan atas masalah-masalah riil di tingkat lokal, menghindari solusi yang bersifat Jakarta sentris atau terkesan sentralistik.
Di titik tersebut, perlu penguatan atas penalaran data, angka dan hasil olah statistik sebagai alat bantu, guna merumuskan kebijakan dan arah programatik dalam strategi mengatasi wabah. Sehingga, keputusan yang diambil dalam kerja mengatasi pandemi, berbasis data serta bukti ilmiah -evidence based.
Data berupa angka dan hasil olah ilmu statistik itu tidak berdiri sendiri di ruang hampa, melainkan harus hadir pada ruang yang berpihak, terutama bagi kepentingan kebaikan publik -bonum commune.
Bias Interpretasi Statistik
Sekurangnya, dalam dua narasi besar secara berurutan, peran serta keberadaan statistik dan media digugat. Hal itu terlihat pada artikel Ratna Megawangi, Korona dan Statistik Kepanikan, (Kompas, 20/6) yang menggunakan kasus publikasi The Lancet dalam kekeliruan penelitian Covid19, kemudian pada bagian ujungnya tersirat bahwa media menciptakan kepanikan publik, karena kesalahan distribusi informasi dalam memahami rasionalitas statistik.
Tentu sebagai sebuah bentuk dinamika pemikiran, kita perlu menghargai pendapat berbeda. Meski penjelasan yang hendak ditekankan bisa jadi terbilang absurd, layaknya teori konspirasi elit global dalam kepentingan perluasan pandemi. Sikap anti sains atau bahkan pseudo sains sedemikian perlu dibenahi.
Mengapa? Karena bila terus dibenturkan, maka kita akan berhenti serta menyudahi apa yang sudah dilakukan selama ini. Lantas berganti perspektif yang jauh lebih mudah, alias menyepelekan. Konstruksinya di publik akan menjadi: (i) Covid19 adalah hal kecil yang diliput secara hiperbolik, (ii) pandemi adalah produksi mitos dari kepentingan bisnis media, farmasi dan industri kesehatan.
Bagian dalam artikel tersebut, mempergunakan The Lancet yang agak kedodoran dalam melakukan kurasi dan verifikasi penelitian, sebagai alat potong serta penyangkalan persoalan pandemi.