Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sisifus di Dunia Pandemi

8 Mei 2020   15:45 Diperbarui: 8 Mei 2020   16:04 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Absurd! Sisifus bekerja dalam kesia-siaan. Anda pernah mendengar nama Sisifus? Albert Camus merangkum kisah Sisifus, dalam karya filsafat Le Mythe de Sisyphe, 1942. 

Sisifus adalah tokoh mitologi Yunani, yang dikutuk, untuk bekerja mendorong batu karang ke puncak, yang pada akhirnya batu karang itu jatuh kembali, dan secara berulang-ulang hal tersebut dilakukannya.

Anda boleh tertawa dari kekonyolan itu, tapi realitas tersebut hadir dalam situasi keseharian yang kita hadapi saat ini, termasuk di periode pandemi. Kekacauan, disebabkan kompleksitas ketidaktahuan.

Pada siasat perang SunTzu, dikenal empat tahu untuk memenangkan pertarungan, di antaranya (i) mengetahui medan perang, (ii) mengetahui kekuatan lawan, (iii) mengetahui siapa kawan, hingga (iv) tahu diri, memahami kelebihan dan kelemahan diri sendiri.

Pengambilan Keputusan

Hal tersebut, diadopsi dalam strategi manajemen, dalam dua kriteria penting, yakni; (i) mengetahui tujuan yang hendak dicapai, dan (ii) memahami bagaimana mencapainya. Selanjutnya eksekusi.

Lantas bagaimana memahami kerja Sisifus dalam situasi pandemi kali ini? Mudah saja melihat cirinya, termasuk; (i) lambat melakukan tindakan, (ii) tidak menyelesaikan persoalan, (iii) kehilangan momentum.

Kita berulang kali disuguhi atraksi akrobatik yang tidak perlu, terkait tumpang tindih kebijakan. Berulang kali kebijakan diambil oleh kekuasaan, secara silih berganti tampak saling berlawanan. Membingungkan.

Apa dampaknya? Bertabrakannya kebijakan antara pusat-daerah, hingga antar pengambil keputusan di pusat, tidak dipungkiri menimbulkan penurunan moral publik -moral decrease. Mana yang bisa dipercaya?

Pandemi bermakna kecepatan, baik soal penularan, hingga menyebabkan dampak kematian. Jangan keluar dari pakem tersebut. Pengambil kebijakan, harus mampu menjawab masalah dengan sigap.

Makna Rasional

Kita kini berhadapan dengan situasi yang sulit dimengerti. Kutukan bagi Sisifus, adalah konsekuensi dari tindakan di masa lalu. Maka rasionalisasi dari kutukan itu, bukanlah menyerah pada keadaan, melainkan segera melakukan perubahan.

Bisikan lembut untuk relaksasi, bahkan berdamai dengan pandemi mulai terasa disuarakan. Nada pasrah mulai menggeliat dan menggema di ruang nalar publik, yang resah karena pemenjaraan fisik.

Bila merujuk Victor Frankl, melalui Man's Search for Meaning, 1946, maka kesuraman hidup layaknya kepahitan dalam situasi perang, hingga ancaman kematian, hanya bisa diselesaikan melalui upaya mencari makna dari kehidupan itu sendiri.

Dalam kehidupan bersama sebagai sebuah entitas negara, maka bentuk utamanya, menjelaskan maksud dari keinginan hidup bersama. Kekuasaan bernegara dibentuk untuk mengatasi masalah publik -res publica. Disitulah orientasi kuasa harus dimaknai.

Lari Dari Realitas

Pernyataan berdamai dengan pandemi, bisa jadi melemahkan, menimbulkan kesia-siaan atas pengorbanan yang telah dilakukan, layaknya Sisifus. Tetapi mungkin juga bisa bermakna adaptasi.

Mekanisme beradaptasi yang biasa dilakukan manusia adalah lari dari realitas lama, menuju realitas baru. Situasi new normal, dimaknai sebagai kondisi dimana manusia memiliki perilaku baru pasca pandemi.

Dalam gagasan Erich Fromm, Escape From Freedom, 1941, manusia berayun dari satu tiang kebebasan, untuk kemudian menanggalkan kebebasan itu sendiri. Bentuk anomali.

Kebebasan itu dicari, sekaligus dihindari. Manusia hidup dalam kebebasan moderen, terperangkap dalam rutinitas yang beku, menimbulkan kejumudan hingga kefrustasian, berakibat ingin lari darinya. 

Bagaimana dengan pandemi? Kebebasan manusia melakukan eksploitasi alam, menghasilkan reaksi wabah, lalu kita terpenjara. Dikungkung dalam alam buatan, tidak bebas, berhasrat keluar dari situasi itu.

Satu-satunya jalan yang membebaskan, adalah menghadapi realitas itu secara bebas. Kembali kepada konsep dasar, bahwa manusia adalah makhluk rasional yang mampu berpikir. 

Upaya lari dari situasi yang terjadi, mungkin pula dapat disebabkan karena kita belum memaksakan diri untuk berpikir lebih keras, serta memberdayakan seluruh potensi yang dimiliki, dalam menyelesaikan keadaan. Lalu dipaksa menyerah.

Pilihan tergantung Anda. Jangan patah semangat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun