Butuh kejujuran. Dalam situasi yang serba sulit, bahkan saat kekalutan menghampiri, keterbukaan adalah hal terpenting. Meski begitu, informasi yang disampaikan haruslah menyeluruh.
Podcast Deddy Corbuzier, bersama dengan Juru Bicara Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto, justru menambah masalah baru. Judul postingan di kanal Youtube itu menarik, "Saya Emosi, Ternyata Benar RS Menolak Pasien Corona".
Tidak hendak menambah polemik, kajian ini tentang tugas dan tanggung jawab para pihak saat melakukan komunikasi publik. Terlebih dalam situasi yang tidak normal, pada kondisi yang dinyatakan oleh WHO sebagai Pandemi.
Sekurangnya, episode podcast tersebut telah ditonton 4.8 juta kali, dengan 154 ribu likes. Channel youtube dengan 7.7 juta subscriber itu mampu menarik perhatian publik, terlebih tema yang dibahas tengah menjadi hot issue saat ini.
Perlu ada penyeimbang informasi, minimal memberikan perspektif yang berbeda, untuk melihat persoalan ini. Sebelum nantinya kita mengkaji aspek komunikasi publik, pada situasi kekacauan dalam kondisi krisis.Â
Menempatkan Posisi
Perlu dipahami, ketika status kondisi wabah telah berubah menjadi sebuah pandemi, maka terdapat konsekuensi yang terkait pada status tersebut.
Pertama: persoalan ini telah menjadi masalah pada level yang sangat luas, berkategori global, menimpa banyak negara. Kedua: wabah ini terbilang baru, belum ada obat penangkalnya. Ketiga: aspek penularannya terbilang cepat, meski kabar baiknya tingkat kematian -fatality rate rendah.
Berkaitan dengan hal terakhir di atas, meski tingkat kematian kecil, bila faktor tersebut dikalikan dengan jumlah populasi positif yang terkena paparan wabah, tentu saja total angkanya mengkhawatirkan.
Situasi tersebut, tidak pelak menciptakan kepanikan. Membuat psikologis publik berada dalam kecemasan. Ketakutan akan kematian, menjelaskan mengapa publik mencoba melakukan antisipasi, lalu timbul perilaku memborong bahan pokok.
Tampak irrasional, tetapi hal tersebut seolah menjadi bentuk rasionalitas baru dalam situasi penuh kekacauan. Sulit dicegah, tetapi dapat dipahami. Ketidakpastian akan kondisi yang terjadi masa depan, mengalahkan kemampuan berpikir rasional.