Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Survei dan Demokrasi (II)

19 Februari 2020   13:14 Diperbarui: 20 Februari 2020   02:41 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terdapat 6 persoalan yang coba ditampilkan dari hasil survei Indo Barometer: (1) permasalahan terpenting demokrasi; (2) tingkat kepuasan pemerintahan Jokowi-Amin; (3) amandemen UUD 1945; (4) isu permasalahan Jakarta; (5) pemindahan Ibu Kota; (6) isu Pilkada 2020.

Bila kemudian dibentuk kluster dari persoalan yang diurai di atas, maka sekurangnya ada tiga kelompok persoalan. Pertama, isu politik kebangsaan terdiri dari permasalahan demokrasi dan amandemen UUD 1945, terkategori level makro. 

Kedua, isu politik aktual dan on going, yakni kepuasan 100 hari pemerintahan, pemindahan Ibukota, serta Pilkada 2020, masuk dalam wilayah meso. Ketiga, isu politik lokal terkait problematika Jakarta, merupakan area mikro.

Pada level makro: persoalan demokrasi dan amandemen UUD 1945 menjadi fokus point. Khususnya, terkait dengan demokrasi, maka publik mempercayai demokrasi (84%) sebagai formulasi kehidupan bersama yang terbaik. Sekaligus prosentase puas (68%) atas demokrasi yang berlangsung. Tetapi masih khawatir pada tantangan persoalan ekonomi (32.1%).

Dalam rilis Democracy Index 2019 yang dikeluarkan The Economist Intelligence Unit -EIU, menempatkan Indonesia sebagai Flawed Democracy. Sebuah demokrasi yang cacat. 

Hal yang menjadi indikasinya adalah dorongan perubahan proses pemilihan langsung, menjadi tidak langsung melalui amandemen UUD 1945.

Hal tersebut saling berkaitan, ternyata, (53.2%) sampel tidak mendapatkan informasi tentang amandemen UUD 1945. Lebih jauh lagi, (62%) dari populasi survei merasa tidak perlu adanya perubahan. Publik ada dalam posisi ambigu.

Terlebih karena setting pertanyaan, diarahkan berbicara tentang GBHN dan kedudukan MPR. Di mana hasilnya, (55.1%) responden menyatakan perlunya arahan pembangunan melalui GBHN. 

Sementara itu, (36.1%) sampel perlu menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Meski, tetap perlu pembatasan masa kekuasaan (78.8%), dan pemilihan Pilpres langsung (89.4%) serta Pilkada langsung (88.2%).

Padahal, amandemen UUD 1945 akan menjadi kotak pandora, bagi berbagai turunan persoalan politik tanah air. Beberapa tendensi mengemuka, seiring dengan usulan perubahan konstitusi tersebut. 

Pertama, mengubah kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi. Kedua: menetapkan GBHN menjadi arah acuan pembangunan. Ketiga: melaksanakan pemilihan presiden secara tidak langsung, melalui mekanisme musyawarah MPR. Keempat: potensi penambahan masa jabatan politik.

Survei ini memperlihatkan, publik belum mendapatkan pemahaman utuh proses politik kenegaraan. Sehingga, publik menjadi rawan untuk diombang-ambingkan oleh kepentingan kekuasaan. Sekaligus, hasil survei ini, bisa pula dipergunakan untuk mendorong, proses percepatan pembahasan amandemen UUD 1945, berbekal angka-angka dukungan publik yang keliru tersebut.

Bila berkaca atas politik praktis yang terjadi akhir-akhir ini, catatan Index Democracy dari The EIU menjadi relevan. Terlebih, menimbang hilangnya minat beroposisi dalam konteks politik formal. Semua elemen politik, terkonsentrasi serta berpusat pada upaya berkoalisi.

Hal ini, memiliki relasi atas apa yang disampaikan Steven Levitsky & Daniel Ziblatt, dalam buku Bagaimana Demokrasi Mati, 2019. Bahwa demokrasi tidak terancam melalui kudeta, melainkan justru dapat dimatikan oleh para aktor terpilih, dari hasil kontestasi dalam demokrasi itu sendiri.

Terlebih ketika kekuasaan hadir tanpa kubu oposisi dan gerakan sipil yang menjadi penyeimbang. Sebuah masa dimana, media kemduian larut sebagai corong partisan, dan masyarakat sipil dibungkam!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun