Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Media dan Oligarki di Hari Jadi

9 Februari 2020   21:49 Diperbarui: 9 Februari 2020   21:58 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Selamat Hari Pers Nasional! Meski penetapan waktu bersejarah ini, menurut sebagian kalangan perlu dikoreksi, karena menyisakan ruang historis dari konstruksi rezim pemerintahan terdahulu. 

Setidaknya momentum tersebut, mengingatkan kita akan peran penting pers dan media, dalam struktur kehidupan berbangsa dan bernegara.

Menjadi pilar demokrasi. Pers, sepanjang tarikan sejarah kekuasaan, menjadi elemen penyeimbang. Karena itu, indikator kemerdekaan pers, juga menjadi tolok ukur dari kehidupan demokrasi. Sebagai bentuk ekspresi kebebasan informasi serta berpendapat.

Diberbagai negara otoriter, pers hanya berperan menjadi humas kekuasaan. Sementara dalam hubungan terbalik, pers liberal justru menciptakan potensi konflik kepentingan, serta kekacauan tata laku pemerintahan. Bagaimana kita menilai posisi pers kita kali ini? Tepat di hari jadinya.

Masihkah frame pers Pancasila dan pers pembangunan menjadi spirit pers nasional? Bagaimana menerjemahkan pers yang bertanggung jawab? Terlebih ketika terjadi disrupsi media, di era konvergensi media digital.

Sekurangnya, Dewan Pers berbicara tentang Good Journalism dalam rangka penguatan demokrasi. Hal itu memuat, kompetensi awak media dalam menurunkan pemberitaan yang berkualitas. Termasuk juga soal perlindungan tugas jurnalisme. Bentuk riil yang diajukan adalah memastikan keamanan dan kesejahteraan insan pers.

Benturan Kepentingan

Harus dipahami media pasca reformasi, mengalami guncangan kebebasan. Media tidak pernah ada di ruang hampa. Konten berjalan dalam balutan konteks. Lapis kepentingan media bertingkat.

Mendorong independensi jurnalis, secara individu dan mikro, seolah melupakan ada kepentingan bertumpuk di level makro, yang berkaitan dengan kerja organisasi, ekstra media -lingkungan sosial bahkan pada lingkup ideologi. Sebagaimana dinyatakan Shoemaker dan Reese, tentang level pengaruh serta kebijakan editorial media.

Tidak lepas dari itu, media memiliki aspek ekonomi dan politik. Karenanya, di era "kebebasan media", dimana batas abu-abu bercampur diruang ekonomi serta politik, maka menjadi sulit membedakan kepentingan media yang seharusnya menjadi ruang aspirasi publik, dari kepentingan pemilik media.

Kondisi ini jelas terlihat, pada perhelatan politik di pentas domestik. Belum lagi, menyoal tentang pemilik media, yang juga sekaligus menjadi pemilik partai politik. Teramat pelik memisahkan kedua kepentingan tersebut. Benturan kepentingan pasti terjadi. 

Kekuatan media, terletak pada kemampuan persuasinya. Membentuk opini publik. Perspektif media, membingkai sebuah fakta menjadi sudut penilaian. Framing adalah cara kerja yang dipergunakan, untuk membentuk kesimpulan

Maka fenomena ini, menjelaskan teori agenda setting, Lippmann, 1922, bahwa fakta diterima publik tidak dengan apa adanya, melainkan apa yang dianggap sebagai kenyataan. Dengan demikian, media memiliki fungsi untuk membuat agenda media, menjadi agenda publik, untuk dapat mempengaruhi agenda kebijakan. Kebenaran menjadi sangat relatif, alias half truth, menjadi kebenaran setengah, yang sisanya diisi dengan interpretasi.

Maka pilihan atas interpretasi fakta, akan sangat bergantung pada arus kepentingan pemilik media, dengan ragam kepentingan politik ekonominya. Konflik kepentingan itu, menempatkan awak media terjebak dalam pragmatisme. Sebuah pilihan yang sulit, terlebih dalam himpitan persaingan media.

Ekosistem Media

Catatan yang disampaikan pada Hari Pers Nasional adalah tentang pembangunan ekosistem media. Format ekosistem harus mampu menciptakan ruang tumbuh media, dalam menjaga demokrasi. Bukan justru membebek pada kepentingan kekuasaan.

Termasuk membentuk ruang setara yang berimbang, bagi media mainstream yang berhadapan dengan new media sebagaimana media online berbasis internet dan penyedia platform. Ruang media yang semakin sesak, membuat pilihan untuk bisa tetap survive jatuh pada kepentingan jangka pendek.

Kekuatan media mainstream, pada persoalan kurasi dan verifikasi, mendadak harus berhadapan dengan media realtime, yang mendasarkan dirinya pada kecepatan distribusi informasi. Tidak urung membuat media arus utama, mulai menjurus upaya mencari sensasi dan kontroversi. Judul yang clickbait, mendistorsi arus informasi.

Ekosistem yang sehat, harus mendasarkan dirinya pada kepentingan para pihak. Publik sebagai khalayak penerima, kekuasaan selaku pihak penentu regulasi, organisasi media selaku dapur produksi, serta menaungi kepentingan ekonomi dari industri media, perlu direformulasi secara kekinian. Literasi publik dan integritas media adalah ukurannya.

Dengan ekosistem yang sehat, akan mampu menjaga objektivitas dan netralitas media. Menjadi lebih berorientasi pada kepentingan publik, dibanding harus mengambil posisi partisan, untuk mendapatkan keuntungan sesaat, guna terhindar dari kepunahan.

Media adalah alat pencerah bangsa. Peran dan tugas media, justru seharusnya menjadi pengawas bagi kepentingan publik. Membuka ruang gelap, yang luput dari kemampuan perhatian publik. Menjadi perpanjangan tangan dan kanal bagi publik. Bukan sekedar corong pengumuman untuk kekuasaan.

Oligarki dalam Demokrasi

Menariknya, rilis Democracy Index 2019 yang dikeluarkan The Economist Intelligence Unit, menyebut bahwa dalam kerangka global, tahun lalu sebagai tahun kemunduran demokrasi.

Khususnya, dicermati melalui peningkatan isu elit politik dan partai, sebagai bagian dari oligarki kekuasaan, dibandingkan kepentingan publik. Termasuk, penurunan kebebasan sipil, yang memuat kebebasan media dan kebebasan berbicara.

Indeks ini, memperhitungkan soal proses elektoral dan pluralisme, keberfungsian pemerintahan, partisipasi politik, kultur politik dan kebebasan sipil. Peringkat Indonesia, berada di posisi ke-64 dari 167 negara, bahkan di bawah Dominika, Lesotho, Mongolia dan Rumania. Nilai keseluruhan indeks untuk Indonesia adalah 6.48, menempatkannya sebagai Flawed Democracy. Sebuah demokrasi yang cacat.

Meski nilai Indonesia lebih baik dari 2018 (6.39), toh hal itu masih jauh dari menggembirakan. Salah satu hal yang terbaca dari temuan penelitian itu, untuk Indonesia adalah wacana politik, terkait dengan upaya untuk menggantikan posisi pemilihan langsung, menjadi tidak langsung. Hal ini diindikasikan, sebagai kemunduran demokrasi.

Apa relasinya dengan kerja media? Realitas politik dalam negeri kita yang sedemikian dinamis, telah berubah pasca pembentukan kabinet. Oposisi menjadi koalisi. Ketiadaan posisi penyeimbang, dari ranah politik formal, mengharuskan adanya pemeran pengganti.

Disitulah letak vital, dari keberadaan media dan elemen kelompok masyarakat sipil. Dapat dibayangkan apa yang terjadi, bila kemudian media justru membalik posisi, untuk bersekutu dengan kekuasaan. Hanya menjadi corong pengeras suara. Bisa dipastikan indeks demokrasi kita, akan semakin melorot. Situasi ini menjadi sangat serius.

Di titik inilah tantangan media sesungguhnya. Keluar dari persoalan dirinya sendiri, dan bahkan mampu melepaskan diri dari cengkraman kepentingan oligarki. Kita tentu menantikan fungsi pers merdeka, yang menjadi saluran kepentingan publik. Dirgahayu Pers Indonesia!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun