Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Trump, Tagar #WWIII, dan Perang Opini

6 Januari 2020   19:02 Diperbarui: 7 Januari 2020   08:42 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melihat kembali beberapa peta dan pola konflik baru, salah satu bentuk yang nyata terlihat adalah dominasi teknologi perang dengan melibatkan pesawat nirawak -drone bersenjata. Pemboman kilang minyak Arab Saudi, hingga kematian Jenderal Perang Iran adalah manifestasi bentuk nyatanya.

Dengan situasi sedemikian, upaya untuk menstimulasi perang terbuka secara fisik adalah berada dalam posibilitas yang rendah. 

Glorifikasi penjungkalan Amerika di medan perang Vietnam, sulit dibayangkan terjadi pada kondisi sekarang. Meski Iran memang dinyatakan memiliki hulu ledak nuklir, tetapi perang juga soal stamina dan logistik. Semangat saja tidaklah cukup.

Relasi politik dunia akan memanas, tetapi ruang wilayah perang akan terkonsentrasi pada pembentukan opini. Sun Tzu -ahli strategi militer Tiongkok klasik, menyatakan bahwa sebelum berperang perlu mengenal empat hal. Di antaranya, kenali lawan, kenali kawan, kenali medan dan kenali diri sendiri.

Bagaimana Posisi Kita?

Mencermati pergerakan di Timur Tengah, posisi politik Indonesia sebagaimana matra ikut berperan serta aktif dalam perdamaian dunia, harus dapat memainkan peran tersebut. Mendorong promosi dan jalan keluar dari ketegangan tersebut.

Hegemoni Amerika yang secara terbuka melakukan tindakan penyerangan, perlu diberikan peringatan pada tingkat dunia. Arogansi tersebut jelas mencederai prinsip world living in harmony. Patut dicatat sebagai tindakan tercela.

Sementara itu secara bersamaan kita pula tengah berhadapan dengan tantangan teritori batas wilayah kedaulatan di laut Natuna. Insiden coast guard China, juga menstimulasi hal yang tipikal dengan apa yang dilakukan Amerika meski pada konteks berbeda.

Apa sebaiknya yang harus dilakukan? Protes kah? Unjuk gigi patroli militer? Misi diplomasi? Ataukah multi kombinasi seluruh kegiatan tersebut?

Insiden wilayah laut Natuna mengembalikan kewaspadaan teritori perairan kita. Meski menyatakan diri sebagai negara maritim, kapasitas kita masih menempatkan laut sebagai pemisah pulau. Dengan demikian, kita abai menjaganya.

Kembali pada diktum: perang adalah politik dengan pertumpahan darah, sedangkan politik adalah perang minus tertumpahnya darah. Peran politik di kancah internasional perlu dimainkan secara aktif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun