Momentum politik 2020, akan diwarnai dengan agenda Pilkada serentak. Sekurangnya 270 titik daerah yang akan menjadi peta lokasi pemilihan.
Tidak mudah memastikan kemenangan politik di era disrupsi. Pemilih bergerak sangat fluktuatif. Banyak hal yang menjadi faktor keberhasilan guna memenangi suatu daerah.Â
Pemahaman yang utuh pada tingkat motif penggerak pemilih dalam memutuskan pilihan politik, perlu mendapatkan pencermatan, baik oleh partai maupun para aktor yang akan terlibat proses kandidasi.
Setidaknya, ilustrasi yang ditampilkan melalui kajian Saiful Mujani, R William Liddle & Kuskridho Ambardi, 2019 dalam Kaum Demokrat Kritis: Analisis Perilaku Pemilih Indonesia sejak Demokratisasi menjadi pembuka gerbang pemahaman.
Pemilih berkembang dan bertumbuh. Tidak hanya dalam konteks populasi secara kuantitatif, tetapi juga bergerak pada level kualitatif. Sehingga, cara-cara mendekati pemegang suara pun menjadi berbeda.
Ruang Politik Formal
Dalam penelitian Saiful Mujani dkk, kategorisasi pemilih rasional dikelompokan dalam kriteria kaum demokrat kritis. Penggolongan ini, untuk memberikan posisi yang berbeda dari kelompok tradisional, yang memilih atas faktor loyalitas tanpa membutuhkan preferensi pertimbangan yang spesifik.Â
Kaum demokrat kritis ini mempercayai bahwa kontestasi politik adalah agenda sah dari mekanisme kehidupan kenegaraan, meski dalam optimisme tersebut disisipi dengan pesimisme atas dampak langsung yang diperoleh melalui hasil demokrasi.
Situasi anomali tersebut, membuat kelompok pemilih ini diimbuhi kata kritis. Bersikap untuk tidak begitu saja menerima apa adanya, tetapi sekaligus mampu memberi tanggapan pada kekuasaan yang terpilih dari hasil politik elektoral.
Kita dapat melihat perkembangan jumlah pemilih ini melalui aspek political sphere -ruang politik. Terlihat melalui partisipasi politik, animo keterlibatan untuk merepresentasikan hak pilih masih terbilang besar, dilandasi kesadaran bahwa jalur politik formal diwadahi melalui mekanisme pemilu.
Meski begitu, pada ruang politik, ada pula faktor pengaruh yakni pilihan politik. Dimana terdapat keterbatasan partai politik yang dianggap sesuai dengan aspirasi publik, meski secara de facto partai politik tetap banyak.Â
Jumlah parpol yang ikut dalam kontestasi, seolah patah tumbuh silih berganti pada setiap tahun elektoral. Praktis platform yang ditawarkan ke publik menjadi tipikal. Perbedaannya hanya pada pilihan individual calon yang diusung.Â
Pada ruang yang lebih sempit tersebut, di tingkat personal political sphere -kandidat, maka parpol akan berhadapan dengan pragmatisme, antara calon populer atau kader. Hal ini semakin rancu antara kapasitas personal ataukah plus dukungan finansial.
Kondisi itu, berimplikasi pada lunturnya semangat berpolitik formal secara terorganisir, melalui jalur kepartaian. Tidak heran party identity sulit ditemukan secara lugas, pemilih cenderung bertindak seirama dengan tematik temporer kampanye.
Sosiokultural Pemilih
Aspek tinjuan yang perlu dikembangkan dalam upaya memenangi daerah pemilihan, berdasarkan hasil kajian Saiful Mujani dkk juga akan terkait dengan socio cultural sphere -ruang sosial budaya pemilih.
Kondisi ini terjelaskan melalui aspek sebagaimana religiusitas, etnisitas, pun termasuk kriteria demografi seperti usia, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan.Â
Melalui rangkaian telaah atas hasil-hasil pemilu, maka loyalitas tetap ada dalam jumlah terbatas. Pemilih yang semakin mampu mencerna proses politik lokal maupun nasional, memiliki derajat kebebasan yang independen untuk memilih.
Faktor terpaan iklan politik di media massa mungkin dapat mempengaruhi kognisi pemilih, namun sulit untuk dapat memastikan konversinya hingga tahap keputusan memilih -psikomotorik.Â
Dalam komunikasi politik, pola persuasi akan masuk di level mikro -kognisi (pengetahuan/ kepala), di tingkat messo -afeksi (perasaan/ hati) hingga aspek makro -psikomotorik (perbuatan/ tindakan). Kemampuan meresonansi pesan menjadi penting.
Melalui pemahaman atas tipologi tersebut maka penentuan kandidat memang akan ditunjang pada tahap awal persoalan popularitas -keterkenalan, namun harus bisa membangun kedekatan sentimen menjadi akseptabilitas -penerimaan, hingga menciptakan elektabilitas -keterpilihan.
Mengenali corak pemilih, memetakan socio cultural sphere dan political sphere menjadi hal paling awal untuk dapat membaca tidak hanya perilaku tetapi juga gerak laku pemilih. Memenangi pemilihan adalah kumulasi kemampuan untuk memenangi isi kepala, hati dan tindakan pada pemilih.
Pilihan tema kampanye, pemanfaatan media, formulasi bentuk kampanye, menjadi instrumen teknis selanjutnya setelah mencerna medan politik yang dihadapi. Berdasarkan pengalaman elektoral, partai-partai yang mampu bertahan, merupakan organisasi politik solid dalam manajemen kepartaian, dan jeli membaca arah mata angin politik.
Defisit Demokrasi
Di bagian akhir, menarik membaca pencermatan Saiful Mujani dkk, bahwa dalam negara demokrasi kita seolah tersandera dengan kondisi defisit demokrasi. Sebagaimana istilah defisit, maka defisit demokrasi dimaknai sebagai senjangnya harapan dan kenyataan politik.
Pemilih atau kaum demokrat kritis menghadapi realitas politik yang ternyata defisit demokrasi. Bukan tidak disadari, justru karena kesadaran itu pula dihidupi oleh harapan akan masa depan politik yang lebih baik, sehingga terdapat keinginan untuk terlibat dan berpartisipasi dalam proses pemilihan.
Jarak antara ekspektasi dan realita dalam kehidupan politik itulah defisit demokrasi. Problemnya tentu akan menjadi berbalik arah menuju negativitas, bila kemudian persoalan defisit demokrasi ini tidak segera diantisipasi oleh lembaga politik formal.
Bila terus menerus situasi ini terjadi, lantas publik mulai membangun ketidakpercayaan pada jalur politik. Kemudian publik memahami bahwa pola elektoral adalah sebatas pergiliran kekuasaan diantara elite serta oligarki politik, tentu kondisinya akan berbahaya.
Kita tentu perlu mengantisipasi hal tersebut, maka perlu ada perubahan sekaligus pembenahan proses politik elektoral dan sistem kepartaian. Demokratisasi lembaga politik menjadi sangat dibutuhkan. Terlebih ketika seluruh partai politik membebek pada kekuasaan dengan bentuk koalisi dominan.
Hilangnya kubu oposisi sangat mungkin menciptakan sikap antipati publik pada politik. Ketiadaan minat pada hal-hal politik, tentu merupakan konsekuensi logis dari kondisi defisit demokrasi. Jika tidak segera diperbaiki dan menjadi sinyal merah bagi seluruh entitas dan aktor politik di tanah air, bukan tidak mungkin berakhir dengan kebangkrutan demokrasi!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H