Ruang maya menghadirkan hal itu. Skema filter bubble dan echo chamber terjadi. Kita terperangkap dalam gelembung sabun akibat banjirnya informasi. Gagal melakukan sortir dan seleksi. Lalu, menganggap kelompoknya sebagai kebenaran absolut yang tunggal.Â
Sejatinya, kedudukan yang setara adalah prasyarat demokrasi dialogis. Sayangnya, dunia digital bak rimba raya. Memang tumpang tindih.
Pengaturan ranah online bukan jawaban mutlak. Butuh kemampuan sebagaimana Stuart Hall berbicara tentang active audience dalam reception theory. Diperlukan kemampuan literasi.
Lebih jauh lagi, dibutuhkan etika. Distorsi dan manipulasi informasi berseliweran di alam digital. Hoax hingga hate speech bertebaran. Bisa merupakan agenda sistematik terencana, atau sekedar luapan emosi sesaat. Peran kontrol diri dan kedewasaan bersifat penting.Â
Kadrun & Bani Togog, Sekuel Cebong Kampret
Pilihan kata, mencerminkan kondisi kita. Setelah kontestasi politik, yang menghadirkan diksi cebong dan kampret sebagai representasi antagonistik, ajakan membangun persatuan belum juga bisa memulihkan situasi akibat polarisasi.
Kita memahami bila persatuan bukan persatean! Bersama bukan berarti tidak bisa berbeda. Terlebih keberagaman adalah sebuah kekayaan. Tetapi mempertentangkan perbedaan mengakibatkan semakin lebar dan dalam jurang pemisah.
Disisi lain, menutup ruang berbeda juga menumpulkan nalar koreksi. Keseimbangan harus berayun di antara kedua perspektif tersebut.Â
Sebagaimana model penerimaan pesan dalam teori active audience, kita perlu melihat makna pesan sebuah informasi dengan skema (i) dominasi -menerima secara hegemonik, (ii) oposisi -menolak keseluruhan, maupun (iii) negosiasi -merujuk kondisi adaptif.
Kutub dominasi dan oposisi, ada di kedua sisi ekstrem yang sulit membangun kesepakatan. Dengan demikian, prinsip yang semestinya dibangun di dunia digital adalah sikap negosiasi berdasarkan substansi.
Gangguan pasca kontestasi tidak mereda. Ketika cebong-kampret mulai ditinggalkan, seiring dengan rekonsiliasi elite, akar rumput masih membara. Istilah kadrun alias kadal gurun dan bani togog menjadi pilihan kata ganti yang sama buruknya.Â
Berdasarkan Crispin Thurlow, Kristine Mroczek, dalam Wacana Digital: Bahasa Media Baru, 2019, aspek sosiolinguistik di era internet memang menghadirkan paradoks. Keberlimpahan percakapan ditimpali dengan penggunaan bahasa berkualitas rendah. Padahal bahasa adalah produk budaya.