Sekurangnya, media mainstream memiliki tata laku dan kode etik serta peraturan legal formal yang meregulasi dirinya. Kurasi, verifikasi dan prinsip cover both side menjadi panduan media arus utama. Hal ini yang hilang pada media sosial kelolaan buzzer dengan sifat opini sepihak.
Matinya Kepakaran dan Demokrasi
Mengambil pemikiran Tom Nichols dalam The Death of Expertise, maka diperlukan literasi publik untuk dapat melihat serta memastikan kredibilitas sumber informasi.Â
Selain itu, juga perlu untuk menilai secara kritis logika dari informasi yang disampaikan. Di sini letak kesulitannya, ketika bungkus emosionalitas dipergunakan.
Maka peran para pakar kehilangan relevansi di tengah kepungan para pendengung. Media mainstream menjadi terlihat kalah cepat dan kurang lincah bergerak.Â
Di dunia digital, sesuai Baudrillard, tercipta simulacra, ruang simulasi yang seolah-olah, menjadi hiperrealitas yang terlepas dari fakta faktual.
Di situlah peran buzzer mengkonstruksi realitas sesuai dengan yang hendak diwacanakan sebagai diskursus publik. Terlebih dalam upaya memberikan perlindungan bagi kekuasaan.Â
Pada titik akumulatif, sikap over protektif buzzer atas kekuasaan dapat mengakibatkan sikap anti kritik, serta menimbulkan mistifikasi kekuasaan itu sendiri, kemudian seolah menjadi sumber kebenaran tanpa cacat.
Sampai pada titik tersebut, maka kian nyata ancaman bagi demokrasi. Konsekuensinya, buzzer tidak bisa dianggap sebagai hal biasa saja, terlebih berperan aktif dalam menciptakan polarisasi, dengan terus menggosok posisi berbeda, terbilang membahayakan.
Mengutip Steven Levitsky & Daniel Ziblat, dalam buku How Democracy Die, indikator pemerintahan masuk kedalam wilayah otoritarian ada dalam beberapa kategori, termasuk diantaranya (i) lemahnya komitmen pada aturan demokrasi, (ii) peran aktif mendelegitimasi pihak oposisi, (iii) toleransi pada penggunaan kekerasan dan (iv) pembungkaman masyarakat sipil serta media.Â
Hal-hal tersebut mengakibatkan demokrasi menjemput ajalnya.