Sesuai laporan Oxford, format yang dipergunakan untuk melakukan manipulasi informasi, adalah dengan penciptaan konten palsu, mengamplifikasi konten tersebut, hingga me-report konten berlawanan secara massif. Pekerjaan itu bisa dilakukan melalui agensi tangan kekuasaan, partai politik hingga masyarakat sipil.
Tujuan dari berbagai aktivitas informasi yang menyesatkan tersebut diarahkan untuk menyebarkan informasi yang pro-pemerintah atau selaras kepentingan partai. Selain itu, dipergunakan untuk menyerang kubu oposisi, termasuk mengalihkan perhatian publik dari pelbagai isu kritis.
Pada tingkat yang membahayakan dapat menstimulasi polarisasi sosial, diantaranya untuk menekan partisipasi publik, termasuk dengan melakukan pelecehan personal individu atau kelompok lain yang berbeda pendapat.
Buzzer dan Media Mainstream
Ruang digital memang menghadirkan efek echo chamber sebagaimana ruang gema dengan memiliki kemampuan untuk memperbesar efek paparan informasi. Keberlimpahan informasi di dunia maya menciptakan kebingungan publik sebagai audiens.
Dalam situasi tersebut, algoritma dari platform media sosial juga membentuk filter bubble yang memerangkap kita untuk informasi sejenis yang kita sukai, dan hal itu akan terpapar langsung pada news feed sosial media kita. Ketika media mainstream bertindak partisan, buzzer memperoleh kesempatan setara di jagat digital.
Apakah mereka memperoleh bayaran? Entahlah, tetapi secara temporal dalam laporan Oxford terbilang biaya kerjanya di Indonesia dapat menghabiskan budget operasional hingga 50 miliar rupiah. Tentu ada pula elemen fans politik yang bersifat sukarela dan sangat militan dalam hal itu, tidak bisa dipungkiri memang ada.
Kelompok ini menjadi garda terdepan pembela kekuasaan. Dari barisan pengagum, simpatisan hingga loyalis yang fanatik. Bertindak serta berperan dari sebelumnya identik sebagai supporter layaknya fans club, kemudian berperilaku menjadi hooligans.Â
Siap bertempur dengan mereka yang tidak sependapat. Terlebih dalam posisi mendapat kemenangan. Perlakuan hukum yang seolah berpihak dan tidak setimbang, juga semakin memperkuat keyakinan kelompok ini.Â
Sebagian diantaranya merupakan mantan jurnalis, bahkan mengolok-olok media mainstream, karena sesungguhnya peran media mainstream juga tipikal dengan buzzer untuk kepentingan ekonomi politiknya.Â
Bahkan para pendengung, menjadi pelindung aktif kekuasaan manakala partai-partai politik terlihat cuci tangan dan vakum dari urusan isu-isu publik.