Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Ke Mana Muara Komunikasi Pemerintah?

24 September 2019   07:40 Diperbarui: 25 September 2019   11:34 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Blunder! Memasuki fase akhir pemerintahan, pola komunikasi yang dibangun kepada seluruh stakeholder negeri ini tampak mengalami kegagalan. Bagi sebagian loyalis politik, yang masih terperangkap dalam ilusi kontestasi politik, situasi seperti ini dianggap sebagai bentuk level nyinyir baru tingkat tinggi.

Sesungguhnya bila kritik publik tidak ditanggapi serius, akan menjadi ancaman bagi kemampuan berkomunikasi pemerintah menjelang pelantikan di periode kedua.

Pada perjalan di putaran terakhir, mulai defisit BPJS Kesehatan, Pemindahan Ibukota, Peresmian Esemka, Kerusuhan Papua, Kebakaran Hutan dan Lahan hingga Pengesahan UU KPK, terlihat jelas komunikasi yang dibangun oleh otoritas kekuasaan mengalami tampak tergagap.

Pola komunikasi satu arah dibentuk, mengabaikan kebutuhan terpenting dalam pola komunikasi yakni feedback audiens.

Beruntung, pada kasus penolakan publik atas RKUHP akhirnya mendapat respon berupa penundaan. Namun perlu dicatat, penundaan bukanlah pembatalan, sifatnya sementara. Bisa jadi perlu dilakukan koreksi dan evaluasi, atau menunggu timing alias waktu yang tepat dalam suasana berbeda.

Membaca arah komunikasi pemerintah, solusi pada soal BPJS Kesehatan adalah kenaikan premi yang masih menjadi polemik. Sedangkan pada masalah rencana pemindahan Ibukota, pemerintah tampak ngebut dan berupaya keras untuk merealisasikan hal tersebut. Beda soal terkait Esemka yang kini telah menjadi domain swasta, pemerintah hanya memberi dukungan simbolik.

Pendekatan pragmatis dalam aspek fisik dikedepankan untuk problem Papua, sekurangnya janji pemekaran wilayah dan pembangunan Istana. Terkait kebakaran hutan dan lahan, terlihat respon lambat pemerintah pusat menyikapi keluhan publik di daerah terdampak asap untuk melakukan langkah yang bersifat urgent dan diperlukan. 

Begitu pula soal KPK, pemerintah mempersetujui usulan yang diajukan legislatif, tanpa membuka ruang partisipasi dan diskusi publik. Secara kumulatif, dari serangkaian kejadian tersebut, tekanan publik semakin menguat pada persoalan RKUHP, dan pada akhirnya diinstruksikan untuk dilakukan penundaan. Dapat pula dimaknai, sebagai siasat mengatur jeda waktu dari kekagetan publik pada langkah-langkah pemerintah.

Teks, Konteks dan Umpan Balik
Penggunaan istilah pemerintah, merujuk pada institusi eksekutif, dalam posisi individual pemegang kekuasaan terpilih, sekaligus fungsi kelembagaan dengan perangkat pendukung birokrasi berlapisnya. 

Sekurangnya, rentetan kejadian di akhir periode kekuasaan fase pertama ini, dapat dilihat sebagai hilangnya fokus konsentrasi pemerintah untuk mendengar aspirasi publik. Sebagian pasti bertanya, publik mana yang harus didengar? Kita punya persoalan pasca kontestasi politik yang lalu, terkait  polarisasi publik. 

Tetapi jika jeli membaca, maka lapisan yang solid secara partisan di kedua kubu politik tidak lebih dari 30 persen. Dengan demikian, 40 persen masih merupakan pemilih rasional, umumnya kalangan akademisi, mahasiswa, para profesional terkait yang bukan merupakan pemilih tradisional dan konservatif. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun