Dengan begitu, pemerintah harusnya memiliki kemampuan untuk menjaring suara publik secara lebih luas menggunakan jejaring aparatur yang dimilikinya.Â
Pada model komunikasi sebuah kebijakan publik, harus terdapat kemampuan untuk menggunakan berbagai medium guna mencapai khalayak luas, untuk menyampaikan teks berupa pesan pada konteks yang bersesuaian.
Bagian akhir yang harus diukur adalah bagaimana feedback yang dihasilkan. Umpan balik publik, melalui diskusi khalayak, harus menjadi indikator atas sikap publik bagi sebuah masalah.Â
Pemerintah harus bersiap untuk mampu membangun resolusi, bila terjadi situasi yang berbalik. Dititik itulah keseimbangan pola komunikasi dibangun dan disusun.
Sikap untuk selektif dalam membuka ruang dengar atas suara publik, jelas sebuah kekeliruan. Semakin mengukuhkan premis kekuasaan yang nir publik, menjadi menjauh dari kepentingan umum. Kekuasaan tampak berjalan sendirian untuk mencapai tujuannya sendiri, yang belum tentu sejalan dengan aspirasi publik itu sendiri.Â
Tapi di era digital dan post truth, mekanisme perlindungan dapat dilakukan dengan membentuk lapisan buzzer pelapis kepentingan, untuk terus mendengungkan narasi seragam, seolah-olah menjadi legitimasi baru.
Relasi Kuasa dan Publik
Muncul pula pertanyaan soal peran para wakil rakyat, fungsi legislasi dan mitra pemerintah. Mengapa seolah pemerintah menjadi target kritik tanpa melihat kegagalan sebagai kontribusi dari anggota dewan? Pertanyaan tersebut menarik untuk dicermati, tetapi agaknya perlu detail melihat komposisi dan perimbangan kekuatan politik di legislatif.
Proporsi kekuatan politik baik saat ini, maupun pada periode yang akan datang masih akan didominasi oleh koalisi pemerintah, alias para penyokong pemerintahan terpilih. Kalau begitu, agaklah sulit melihat sebagai hal yang berbeda. Pemerintah dan kubu koalisinya di arena legislatif, tentu sedendang seirama.
Bagaimana kubu oposisi? Pada momentum seperti ini, seharusnya peran oposisi semakin menguat, mewakili pendapat alternatif sebagai suara publik. Sayangnya, oposisi yang diharapkan muncul masih terbilang pragmatis, sekurangnya muncul anggapan ada politik transaksional disana. Ujungnya ada pembagian peran dan kuasa, kavling kursi kabinet mungkin bentuk kompensasinya. Â
Pandangan para loyalis, membenarkan posisi pemerintah yang tidak ambil pusing dengan pendapat publik sebagai bentuk sikap yang konsisten untuk tidak tunduk dalam tekanan opini publik. Jelas ada konsekuensi persoalan bila demikian.Â
Pengelolaan hajat publik dalam aspek politik, memang akan menempatkan proses pengambilan keputusan oleh pemerintah dalam menjaga keseimbangannya atas kepentingan publik termasuk opini publik.