Kejadian akhir pekan lalu ternyata mengembalikan apa yang tampaknya telah berakhir. Pengakhiran pengkubuan politik belumlah usai. Sisa yang tertinggal dari ruang politik adalah polarisasi.
Tetapi itu hakikat dinamika, problemnya sejauhmana energi kontradiksi menghasilan resultansi yang selaras dengan tujuan kemajuan. Urusan mati listrik merembet kepada persoalan politik. Alhasil, respon atas momen tersebut menjadi momentum reflektif dari situasi sosial kita kali ini. Keterbelahan masih memerlukan waktu pemulihan.
Beberapa wacana terungkap, mulai dari yang sangat pesimistik terkait dengan kepemimpinan BUMN yang merepresentasikan aspek kepemimpinan nasional.Â
Di sisi lain, ada pula tanggapan religius terkait kembali ke fitrah akan kematian dalam kegelapan. Hingga pada respon optimistik, berbicara tentang agenda perbaikan dan evaluasi bagi PLN, sebagai kerangka perbaikan seluruh BUMN.
Dalam konteks bisnis, mulai dibicarakan terkait dengan penggantian kerugian yang dikompensasi dari gaji karyawan. Termasuk sentilan terkait monopoli dan pembukaan kemungkinan hadirnya pemain lain dalam memeriahkan kompetisi. Bisa jadi ada free rider yang ikut membonceng.
Momentum mati lampu yang berujung pada tersangka pohon sengon, memang menjadi koreksi mendalam diawal periode memasuki kepemimpinan kedua Jokowi. Praktis kondisi padamnya power supply itu, seolah memupuskan apa yang selama ini didegungkan tentang digitalisasi dan kemampuan disrupsi internet. Realitas baru dihadapi dan tentu perlu dilakukan pembenahan teknis dan organisatoris.
Maka wajar Jokowi kecewa dengan ekspresi marah dalam adat Jawa, berhadapan dengan sebutan "orang-orang pintar". Kegagalan antisipasi dan manajemen risiko PLN, mencoreng visinya tentang era industri 4.0 yang dikumandangkan.
Memikir Ulang Ibu Kota
Bersamaan dengan peristiwa tersebut, pemerintah nampak semakin gencar berbicara tentang pemindahan Ibukota yang titiknya masih dirahasiakan. Cerita soal pindah boyongan ini adalah mimpi yang telah lama dengan segudang kalkulasinya.
Selama ini Jakarta adalah daerah Khusus Ibukota dengan bertumpuknya peran, mulai dari pusat industri, jasa, perdagangan dan pemerintahan. Daya dukungnya sudah tidak mendukung. Polusi menjadi tema sentral akhir-akhir ini. Belum lagi macet, banjir, sampah dan buruknya baku mutu air.
Sudah begitu, mati lampu pula. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Tapi konsep pemindahan ibukota tampak serius digarap. Budget pemindahan yang sekitar Rp300-400 Triliun, nilai yang tidak sedikit meskipun dilaksanakan secara multiyears.
Alasan pemindahan kemudian berbicara tentang aspek pemangunan yang seharusnya menyentuh sisi keadilan, dengan tidak berfokus pada Jawasentris, adalah sebuah alasan mulia. Tapi ada logika yang saling bersilangan disana dengan konsepsi indutri 4.0 yang dibicarakan.
Sekurangnya ada beberapa permasalahan yang perlu dikaji lebih jauh:
Pertama: pemindahan tidak hanya pada aspek fisik tetapi psikologis dan sosiologis, jadi ada ekosistem yang berpindah dan tentu tidak semudah bedol desa. Infrastruktur fisik dan sosial harus dibangun.
Kedua: tema Jawasentris adalah tentang konsep keberimbangan yang termuat dalam kebijakan pembangunan, jadi bukan semata tentang pindah tempat atau geser posisi koordinat, melainkan setting kebijakan pusat dan daerah seperti apa yang harus diwujudkan.
Ketiga: era industri 4.0 diperkenalkan dengan konsep Dilan -digital melayani dan infrastruktur langit. Dimana teknologi mampu mengatasi persoalan ruang dan waktu. Meski dipersetujui bahwa aspek kehadiran pemimpinan menjadi bagian dari fungsi leadership, untuk memastikan berjalannya program.
Keempat: rasionalitas program, terkait dengan kapasitas pembiayaan. Wacana penjualan aset negara, baik dalam bentuk langsung ataupun kerjasama mengemuka untuk menambal biaya pemindahan. Namun, bagaimana dengan nilai kesejarahan sebuah bangunan? Bukankan infrastruktur yang sekarang masif dilakukan di Jakarta adalah rencana untuk menguatkan daya dukung ibukota?.
Pertanyaan pentingnya bila kemacetan, banjir, sampah dan polusi adalah persoalan yang teridentifikasi, harusnya persoalan tersebut yang menjadi prioritas penyelesaian, melalui koordinasi kerja antara Pemerintah Pusat dan daerah Ibukota. Bukan sekedar memindahkan titik lokasi.
Dibanding dengan memindahkan satu titik ke titik lain, maka mekanisme Management by Walking Around -MBWA ala blusukan yang dilakukan selama ini sebaiknya lebih diintensifkan, terlebih ini periode kedua pemerintahan. Dari pada berpindah Ibukota, sebaiknya Presiden Jokowi aktif berkeliling dan berdiam sementara disetiap daerah, efektif pada pencapaian tujuan, efisien dalam pembiayaan kegiatan.
Keunggulan prinsip dari implementasi MBWA, adalah pemimpin dapat mengetahui permasalahan langsung, memberikan motivasi bagi kemajuan pembangunan, hingga mengajukan solusi atas kendala riil yang sesuai kondisi aktual. Sementara alokasi anggaran bisa dipergunakan seoptimal mungkin bagi pembangunan sumberdaya manusia, sebagaimana yang dinyatakan dalam Visi Indonesia!.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI