Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Fraud, Defisit dan Kewajiban Etis BPJS Kesehatan

6 Agustus 2019   02:52 Diperbarui: 7 Agustus 2019   16:56 587
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI - Warga menerima Kartu Indonesia Sehat (KIS) yang diserahkan secara simbolis oleh Presiden Joko Widodo di Kantor Pos Kampung Melayu, Jalan Jatinegara Barat, Jakarta Timur, Rabu (13/5/2015). (KOMPAS.com / RODERICK ADRIAN MOZES)

Sontak terkejut membaca judul berita di portal online itu. Maklum, beritanya di Tribunnews.com (22/7) "Kejaksaan Sebut 40 RS Swasta Tipu Pemerintah Ratusan Miliar Lewat Pencairan BPJS". Bagi pelahap judul, maka caci maki melayang bagi institusi kesehatan.

Padahal konstruksi informasi dalam berita tersebut, baru sampai pelimpahan temuan hasil kerja intelijen kejaksaan. Maknanya baru bersifat dugaan permulaan yang perlu diverifikasi lebih lanjut. Belum ada proses hukum, bahkan baru dimulai. Menggunakan istilah "tipu" menempatkan institusi rumah sakit sebagai tokoh antagonis dan musuh bersama.

Banyak hal yang perlu hati-hati dicermati dalam kerangka layanan medis. Sampai batas mana istilah penipuan --Fraud dibuat dalam sebuah rujukan definisi yang diakui di sektor kesehatan? Tenaga dan institusi medis selalu berhadapan pada konsekuensi dan tanggung jawab. 

Bayangkan bila diagnosa penyakit disederhanakan, maka tenaga medis bisa jadi dianggap lalai, tidak cermat hingga kurang kompeten. Tetapi menempatkan diagnosa pasien, dalam faktor kemungkinan penyebab penyakit secara kompleks, justru dianggap sebagai upaya pembohongan. 

Kita bahas logika tersebut, Pertama: ilmu kesehatan adalah tentang probabilitas, diagnosa merupakan pendekatan kemungkinan atas penyebab dengan dasar pendukung dari hasil pemeriksaan. 

Otoritasnya ada pada kewenangan medis profesi dokter. Jadi ibarat sakit kepala, bisa saja bukan bersumber di kepala, melainkan dampak dari ujung kaki yang terluka. Upaya untuk menempatkan kedokteran secara mekanistik merupakan kekeliruan.

Kedua: pembentukan persepsi buruk layanan kesehatan. Situasi ini sangat terkait dengan konsep awal sakit, penyakit dan kesakitan yang secara psikologis merupakan hal yang tidak menyenangkan. Problemnya menjadi lebih negatif, ketika diserahkan kepada tenaga medis lokal. Sikap penuh kecurigaan ditempatkan. 

Bayangkan bagaimana persepsi positif justru diberikan kepada tenaga kesehatan di luar negeri, pasien kerap memberikan pujian bahkan rekomendasi, tentang kemampuan pelayanan medis yang lengkap dan presisi, tentu dilakukan dengan berbagai pemeriksaan untuk menegakkan diagnosa. Bila prosedur serupa dilakukan di dalam negeri, justru diartikan sebagai upaya memperalat pasien. Berkebalikan memang, tapi itu realitasnya.

Imej Buruk Berkelanjutan

Meski kaget dengan berita tersebut, terutama dalam lintasan bayangan di kepala tentang bagaimana intelijen kejaksaan mampu membaca diagnosa medis untuk menentukan apa yang disebut dengan Fraud tersebut, saya coba melanjutkannya pada keterhubungan narasi di berita lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun