Hari-hari ini istilah people power menjadi begitu sensitif bahkan terbilang keramat. Ada senjang pemahaman atas diksi tersebut, tentu saja bisa dipergunakan untuk kepentingan masing-masing. Sesuai kodratnya, para penguasa memang tidak akan menyukai sebutan tersebut.
People power bisa menjadi daerah abu-abu untuk bisa dimaknai oleh para pihak. Berdasarkan catatan sejarah internasional, istilah people power digunakan saat penggulingan Ferdinand Marcos dari tampuk kekuasaan Presiden Filipina tahun 1986. Di Indonesia, momen Reformasi 1998 tidak dapat dipungkiri juga menjadi periode people power dengan model tipikal.
Dalam makna linguistik, people power diartikan sebagai kekuatan rakyat. Tentu wajar saja, karena publik pemilik kedaulatan, yang dalam mekanisme legal konstitusional diwakilkan pada parlemen dan pemerintahan terpilih melalui proses politik. Penjelasan aspek bahasa atas people power diterangkan menjadi; political pressure exercised through the public demonstration of popular opinion.
Dapat diartikan sebagai upaya melakukan tekanan politik, dengan melakukan aksi demonstrasi yang membangun opini publik. Sampai pada tataran tersebut, sesungguhnya tidak ada yang terlalu berlebihan, karena hak berdemokrasi menjunjung tinggi persoalan kebebasan dalam berekspresi serta berpendapat.
Problemnya kemudian muncul, ketika konten people power dilekatkan pada konteks kompetisi politik. Kubu penguasa menjadi nampak alergi dengan suara yang berseberangan. Padahal, jika pemerintahan mampu mengelola perbedaan dengan baik, aspirasi yang muncul dan berbeda adalah sebuah mekanisme balancing power agar jalur kekuasaan tidak keluar dari koridor yang seharusnya.
People Power: Subversif?
Perlu ada penjernihan situasi untuk dapat memahami substansi. Apakah people power dalam padanannya merujuk pola dari tindakan subversif? Perlu diperjelas definisinya, jika subversif dipahami sebagai unsur hasutan untuk melakukan pemberontakan terstruktur, termasuk ancaman bersenjata. Maka kemudian akan menjadi tidak tepat, jika dilakukan generalisasi konsep people power, sehingga terasosiasi pada tindakan subversif.
Dalam konteks lokal kita memiliki dua istilah, yang juga menjadi penjelasan penyerta permasalahan people power, yakni makar dan kudeta.Â
Konsep makar dan kudeta menjadi serupa tetapi tidak sama. Istilah makar bermakna menjatuhkan pemerintahan yang sah, sementara kudeta berarti pengambilalihan kekuasaan secara inkonstitusional.
Konsep yang kemudian menjadi antitesanya adalah impeachment alias pemakzulan, sebuah mekanisme legal yang dipergunakan melalui parlemen untuk mengganti kekuasaan di tengah jalan.
Dengan begitu, apakah people power adalah sebuah format ilegal dan tidak diakui dalam demokrasi? Titik batas toleransi yang bisa dibangun seharusnya ketika tercipta situasi anarkis, sebagai kondisi melanggar aturan dan ketertiban, hingga menyebabkan kekacauan.Â
Berkaca dari gerakan #notmypresident di Amerika pasca terpilihnya Trump, menarik dijadikan ilustrasi. Toh, aspirasi berbeda itu tetap diakomodasi dalam ruang kebebasan berekspresi, bersuara dan berpendapat.
Dalam banyak kesempatan, gerakan itu menyuarakan;Â Resist or Impeach. Pada realitas politiknya, kekecewaan publik tersebut tidak direpresi melainkan difasilitasi, terutama untuk dapat memberikan ruang sejuk kekuasaan yang ramah pada warganya, Trump tetap masih menjadi Presiden negeri Paman Sam hingga sekarang.
Pesan Naratif
Kehidupan kita, termasuk di ranah politik adalah medan wacana, sehingga proses produksi dan konsumsi teks sebagai wacana menjadi penting untuk memahami makna, pun demikian dengan ruang tafsir dari narasi people power yang seharusnya dibangun secara demokratik alih-alih otoriter.
Upaya untuk membentengi kekuasaan dengan mekanisme represi berpotensi menimbulkan antipati, karena memang people power hidup sebagai model alternatif atas kontradiksi otoritarianisme. Begitu juga sebaliknya, upaya untuk melakukan tindakan dekonstruksi kehidupan publik, dengan mengatasnamakan kepentingan publik, niscaya tidak akan mampu merebut perluasan simpati publik.
Kajian komunikasi menempatkan rasionalitas naratif untuk menilai apakah sebuah narasi dapat dipercaya atau tidak, dengan mengandalkan dua kategori, yakni (a) koherensi -coherence, berbicara tentang konsistensi dan (b) kejujuran -fidelity, ditopang oleh nalar berlogika. Pada kasus narasi people power, maka para pihak membangun rasionalitas atas dasar kepentingannya. Itu pilihan subjektif, tetapi mari objektif melihat faktanya.
Pada banyak studi kasus yang berakhir dengan model alih kekuasaan melalui people power, butuh banyak prasyarat penyerta termasuk pada buruknya kualitas kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Pasca Pemilu 2019, tidak ada situasi yang tipikal dengan apa yang terjadi pada 1998, yakni krisis ekonomi, tingginya tingkat KKN dan ketidakpercayaan publik.
Bila kemudian tingkat kepuasan atas petahana mencapai 70 persen, sementara keterpilihannya hanya mencapai 55 persen, maka sekitar 45 persen memang tidak lagi mempercayai incumbent. Hal itu patut menjadi bahan refleksi politik bagi kekuasaan.
Bahwa sebahagian publik menilai perlu ada people power sebagai ekspresi politik, sebaiknya hal tersebut segera ditindaklanjuti dengan mekanisme diplomatis, bukan mempergunakan instrumen kekuasaan untuk meredamnya. Bila langkah terakhir dilakukan, mekanisme represif dipertunjukan, tentu menjadi sebuah kemunduran dari kehidupan demokrasi.
Bila penguasa telah alergi dengan istilah, maka kita sesungguhnya tengah berhitung pada suramnya masa depan!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H