Dalam banyak kesempatan, gerakan itu menyuarakan;Â Resist or Impeach. Pada realitas politiknya, kekecewaan publik tersebut tidak direpresi melainkan difasilitasi, terutama untuk dapat memberikan ruang sejuk kekuasaan yang ramah pada warganya, Trump tetap masih menjadi Presiden negeri Paman Sam hingga sekarang.
Pesan Naratif
Kehidupan kita, termasuk di ranah politik adalah medan wacana, sehingga proses produksi dan konsumsi teks sebagai wacana menjadi penting untuk memahami makna, pun demikian dengan ruang tafsir dari narasi people power yang seharusnya dibangun secara demokratik alih-alih otoriter.
Upaya untuk membentengi kekuasaan dengan mekanisme represi berpotensi menimbulkan antipati, karena memang people power hidup sebagai model alternatif atas kontradiksi otoritarianisme. Begitu juga sebaliknya, upaya untuk melakukan tindakan dekonstruksi kehidupan publik, dengan mengatasnamakan kepentingan publik, niscaya tidak akan mampu merebut perluasan simpati publik.
Kajian komunikasi menempatkan rasionalitas naratif untuk menilai apakah sebuah narasi dapat dipercaya atau tidak, dengan mengandalkan dua kategori, yakni (a) koherensi -coherence, berbicara tentang konsistensi dan (b) kejujuran -fidelity, ditopang oleh nalar berlogika. Pada kasus narasi people power, maka para pihak membangun rasionalitas atas dasar kepentingannya. Itu pilihan subjektif, tetapi mari objektif melihat faktanya.
Pada banyak studi kasus yang berakhir dengan model alih kekuasaan melalui people power, butuh banyak prasyarat penyerta termasuk pada buruknya kualitas kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Pasca Pemilu 2019, tidak ada situasi yang tipikal dengan apa yang terjadi pada 1998, yakni krisis ekonomi, tingginya tingkat KKN dan ketidakpercayaan publik.
Bila kemudian tingkat kepuasan atas petahana mencapai 70 persen, sementara keterpilihannya hanya mencapai 55 persen, maka sekitar 45 persen memang tidak lagi mempercayai incumbent. Hal itu patut menjadi bahan refleksi politik bagi kekuasaan.
Bahwa sebahagian publik menilai perlu ada people power sebagai ekspresi politik, sebaiknya hal tersebut segera ditindaklanjuti dengan mekanisme diplomatis, bukan mempergunakan instrumen kekuasaan untuk meredamnya. Bila langkah terakhir dilakukan, mekanisme represif dipertunjukan, tentu menjadi sebuah kemunduran dari kehidupan demokrasi.
Bila penguasa telah alergi dengan istilah, maka kita sesungguhnya tengah berhitung pada suramnya masa depan!.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H