Perkembangan politik nasional pasca pemilu belum kembali ke kondisi normalnya, sengkarut persoalan muncul dan masih menjadi perdebatan yang tidak henti. Dinamika politik bahkan seolah semakin menjadi.
Peta pertarungan politik seharusnya diselesaikan dengan mekanisme pemilu, tetapi nampak-nampaknya jalan itu masih panjang.
Beberapa hal yang kemudian muncul dalam narasi besar dari pihak oposisi diantaranya, (a) kecurangan dalam format terstruktur, sistematis dan masif, termasuk gagal hitung alias salah input, (b) people power sebagai ekspresi penolakan atas kecurangan, serta (c) misteri kematian 500 petugas pemilu.
Sementara itu di sisi lain, diskursus pihak petahana, seperti (a) penyebaran berita bohong alias hoax dan hate speech, (b) tindakan makar dan anjuran gerakan massa, serta (c) koalisi radikal anti Pancasila.
"Rekonsiliasi bisa dibangun dengan; (a) meredakan situasi ketegangan, (b) memahami sudut pandang pihak lain, (c) menunjuk penengah dalam hal itu bisa berupa otoritas legal, ataupun pihak informal lain yang dipercaya."
Pada kedua benturan isu tersebut maka bisa dipastikan akan terdapat kesulitan untuk membangun komitmen bersama pasca pemilu, bukan sekedar koalisi tetapi sekaligus berkolaborasi, demi masa depan bangsa dan negeri ini.
Diperjalanannya beberapa langkah kubu incumbent justru semakin menguatkan friksi yang sudah memanas, sebut saja (a) rencana pembentukan tim hukum untuk menyortir ucapan para tokoh, (b) dilanjutkannya kasus UBN dengan tuduhan pidana pencucian dana umat, hingga (c) tindakan teguran dan klarifikasi kepada UAS.
Meniti Pengakhiran
Situasi ini jelas mengakibatkan semakin tertutupnya peluang dalam harapan rekonsiliasi. Perspektif dalam pendekatan pengelolaan konflik, maka upaya mendorong rekonsiliasi, sudah selayaknya menjadi bagian dari resolusi bersama.
Maka serangkaian tindakan petahana tersebut, semakin menyulitkan kerangka mencapai perdamaian. Rekonsiliasi bisa dibangun dengan; (a) meredakan situasi ketegangan, (b) memahami sudut pandang pihak lain, (c) menunjuk penengah dalam hal itu bisa berupa otoritas legal, ataupun pihak informal lain yang dipercaya.
Mengapa situasinya sedemikian pelik? Pertama: upaya sensor dalam bentuk screening ucapan atau bahkan ujaran, sesungguhnya bentuk tindakan anti demokrasi, yang ditopang oleh prinsip kesetaraan, keadilan dan kebebasan.Â
Kedua: bahwa people power tidak dapat diperlekatan pada stereotype sebagaimana upaya makar, dibandingkan sebagai bagian dalam kerangka positif ekspresi pemikiran yang berbeda, jelas mematikan semangat keberagaman berpendapat di alam demokrasi.
Ketiga: pemahaman terhadap Pancasila harus ditempatkan dalam konteks aktual, tidak berarti bahwa kepercayaan yang berlainan, selama berada dalam bentuk yang tidak berlawanan, tetap dapat dilindungi dalam kebhinekaan, serta tidak terstigmatisasi sebagai bentuk radikalisme.
Bersama Pasca Pemilu
Upaya rekonsiliasi hanya dapat berhasil jika semua pihak menurunkan ego individualnya, meredakan tensi pertentangan dalam posisinya masing-masing.
Maka langkah yang diambil pemerintah, dapat diilustrasikan sebagai stimulus memantik api, pada tumpukan jerami kering dalam cuaca kemarau. Langkah tersebut, dapat dimaknai sebagai upaya untuk mempertahankan kepentingan kekuasaan.
Pihak incumbent, seolah membangun tembok pemisah antara pendukung dan pihak lain -liyan oposisi. Maka pihak yang berseberangan bisa memberikan tafsir berbeda, (a) menyortir ujaran dapat menjadi sensor gagasan bagi oposisi.
Sementara itu, pada (b) kasus UBN dapat ditarik pada kegagalan kemampuan memaknai dana publik dan perbedaannya dengan dana negara, sumir pelapor dan kepentingan yang dirugikan, (c) setting kasus UAS menyisakan ruang ketidakadilan yang timpang bagi pendukung oposisi, mengingat demikian banyak petinggi daerah yang juga secara terang benderang mendukung paslon petahana.
Pemerintah yang menjadi representasi kekuasaan yang sedang berlangsung, sekaligus sebagai aktor politik yang secara bersamaan sedang bertanding harus bisa memperlihatkan wajah lembutnya. Disisi lain, oposisi dituntut pula untuk dapat berlaku konstitusional, mengarahkan aspirasi melalui kanal-kanal legal yang tersedia.
Pada kenyataannya, pasca pemilu kita tidak berhenti berada dalam lingkup perang propaganda, dimana masing-masing pihak memainkan upaya untuk mempengaruhi opini publik sekaligus melakukan dominasi dan kontrol terhadapnya. Termasuk mempergunakan berbagai teknik propaganda, seperti; memberi julukan -name calling, tebang pilih -card stacking, penyamarataan dengan keberpihakan -glittering generalities.
Dengan keseluruhan situasi yang ada, nampak celah rekonsiliasi menjadi semakin sempit. Imajinasi kita sedemikian liar pada upaya pengekangan dan pemberangusan suara-suara yang berbeda. Dan hal itu menjadi sinyal ancaman berbahaya bagi kehidupan demokrasi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H