Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Rekonsiliasi dan Imajinasi Sensor

11 Mei 2019   21:04 Diperbarui: 12 Mei 2019   09:02 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi rekonsiliasi pasca-pemilu (KOMPAS/DIDIE SW)

Kedua: bahwa people power tidak dapat diperlekatan pada stereotype sebagaimana upaya makar, dibandingkan sebagai bagian dalam kerangka positif ekspresi pemikiran yang berbeda, jelas mematikan semangat keberagaman berpendapat di alam demokrasi.

Ketiga: pemahaman terhadap Pancasila harus ditempatkan dalam konteks aktual, tidak berarti bahwa kepercayaan yang berlainan, selama berada dalam bentuk yang tidak berlawanan, tetap dapat dilindungi dalam kebhinekaan, serta tidak terstigmatisasi sebagai bentuk radikalisme.

Bersama Pasca Pemilu
Upaya rekonsiliasi hanya dapat berhasil jika semua pihak menurunkan ego individualnya, meredakan tensi pertentangan dalam posisinya masing-masing.

Maka langkah yang diambil pemerintah, dapat diilustrasikan sebagai stimulus memantik api, pada tumpukan jerami kering dalam cuaca kemarau. Langkah tersebut, dapat dimaknai sebagai upaya untuk mempertahankan kepentingan kekuasaan.

Pihak incumbent, seolah membangun tembok pemisah antara pendukung dan pihak lain -liyan oposisi. Maka pihak yang berseberangan bisa memberikan tafsir berbeda, (a) menyortir ujaran dapat menjadi sensor gagasan bagi oposisi.

Sementara itu, pada (b) kasus UBN dapat ditarik pada kegagalan kemampuan memaknai dana publik dan perbedaannya dengan dana negara, sumir pelapor dan kepentingan yang dirugikan, (c) setting kasus UAS menyisakan ruang ketidakadilan yang timpang bagi pendukung oposisi, mengingat demikian banyak petinggi daerah yang juga secara terang benderang mendukung paslon petahana.

Pemerintah yang menjadi representasi kekuasaan yang sedang berlangsung, sekaligus sebagai aktor politik yang secara bersamaan sedang bertanding harus bisa memperlihatkan wajah lembutnya. Disisi lain, oposisi dituntut pula untuk dapat berlaku konstitusional, mengarahkan aspirasi melalui kanal-kanal legal yang tersedia.

Pada kenyataannya, pasca pemilu kita tidak berhenti berada dalam lingkup perang propaganda, dimana masing-masing pihak memainkan upaya untuk mempengaruhi opini publik sekaligus melakukan dominasi dan kontrol terhadapnya. Termasuk mempergunakan berbagai teknik propaganda, seperti; memberi julukan -name calling, tebang pilih -card stacking, penyamarataan dengan keberpihakan -glittering generalities.

Dengan keseluruhan situasi yang ada, nampak celah rekonsiliasi menjadi semakin sempit. Imajinasi kita sedemikian liar pada upaya pengekangan dan pemberangusan suara-suara yang berbeda. Dan hal itu menjadi sinyal ancaman berbahaya bagi kehidupan demokrasi!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun