Titik akumulasi proses politik menjelang fase puncak, menapaki tahapan klimaks, dimana waktu pemilihan hanya berkisar dua bulan saja. Perang opini akan dikapitalisasi melalui survei politik, dimana pembicaraan atas hasil interpretasi akan persepsi politik publik akan dikumandangkan oleh barisan lovers and haters.Â
Legitimasi semakin diperebutkan dengan melibatkan para pakar, menggunakan medium media massa mainstream ataupun media sosial.
Peran tim pemenangan akan semakin menguat menjelang tenggat, kedua belah pihak yang terlibat dalam kontestasi politik akan mendorong upaya konsolidasi melalui pembentukan kesepahaman publik. Dititik tersebut, kita akan melihat proses dramatisasi terjadi.Â
Aktor, setting dan skenario akan dipersiapkan, media menjadi instrumen dan panggung perluasan gagasan. Maka mudah ditebak akan marak aksi simbolik yang berusaha memberikan ilustrasi seolah dukungan pada para pihak yang berkompetisi.
Menggunakan perangkat asumsi tersebut, jelas bahwa dukungan institusi, kelompok dan tokoh secara individual, tidak dapat dimaknai secara korelasional sebagai bentuk komitmen politik secara langsung di tingkat akar rumput, yang tentu saja diharapkan terjadi melalui aksi simbolik yang di eskalasi melalui media.Â
Jadi keriuhan yang seolah terjadi melalui dukungan alumni sekolah, perguruan tinggi, lulusan luar negeri, maupun kunjungan ke para kiai serta berbagai pesantren tidaklah dapat dikalkulasi secara kumulatif sebagai suara politik secara kasat mata.
Dalam komunikasi politik, aksi simbolik ditujukan bagi upaya untuk membentuk sekaligus membangun persepsi, memenangkan persuasi guna menguasai kognisi -pengetahuan publik. Hal tersebut diterangkan melalui Bandwagon Effect yang diharapkan hadir melalui aksi simbolik politik, maksudnya jelas bahwa publik akan menjadikan setting simbolisasi tersebut, sebagai referensi pilihan politik.
Tidak mudah menundukan pilihan publik secara hegemonik di era informasi terbuka, ruang digital menyebabkan keberlimpahan referensi dalam mendorong terciptanya preferensi publik. Kandidat yang hanya menumpukan kekuatan pada kemampuan aksi simbolik semata, hanya akan menemukan kesia-siaan.Â
Peran opinion leader di dunia yang semakin flat dan horizontal, tidak lagi terfokus pada rujukan tokoh publik, melainkan terdispersi ke dalam lokus yang kecil, komunitas dan keluarga sebagai micro targeting, yang memerlukan sentuhan privat secara langsung. Dititik itu door to door campaign menjadi diperlukan.
Relasi Kandidat dan Publik
Sedangkan pada posisi keterhubungan kandidat beserta publik, maka masa yang semakin menuju tenggat, akan semakin mengharuskan seorang kandidat beserta seluruh elemen mesin politik sebagai sumberdaya yang dimilikinya, untuk menjangkau sedekat mungkin ke basis-basis pemilih, menjaga proximity.Â
Disisi lain, akan terdapat upaya untuk mencoba masuk ke dalam benak publik, dengan berbagai aksi semiotik yang mencoba menyatakan keberpihakan -plain folk.
Bercengkrama dan beraktifitas bersama publik dalam keseharian kehidupan masyarakat akan menjadi framing dari identitas merakyat. Bukan tidak mungkin, agenda dramatisasi akan semakin masif dalam proses kampanye yang pendek jelang limit, dalam upaya mendorong publisitas, meningkatkan popularitas, berharap akseptabilitas dan pada akhirnya mewujud dalam bentuk elektabilitas.Â
Dalam durasi pendek, proses nalar substansial terkait visi dan program kandidat akan menjadi relatif sulit terjangkau, sehingga faktor emosional akan lebih banyak dimainkan.
Pada kajian post truth, hal yang kemudian dikembangkan adalah membangun mekanisme "feeling into" sehingga mengkonstruksi publik melalui kesamaan afeksi sisi emosional, hal ini yang membuat realitas berupa data faktual tidak lagi dibutuhkan, bisa dilakukan dengan menggunakan faktoid yakni data dengan bias interpretasi serta memiliki tendensi kepentingan tertentu.
Sekali lagi, hal tersebut tentu tidak salah sebagai bagian dari dimensi pemasaran politik di tahun politik. Menjadi sebuah kesalahan bila dilakukan tanpa fakta, karena menjadi kebohongan alias hoaks.Â
Sementara pada sisi yang berbeda, publik akan menjadi "gadis manis yang hendak dipinang", Â sesungguhnya berhak memberikan beban kepada para kandidat, meminta mahar sebagai bentuk komitmen politik, meski bukan money politics. Momentum lima tahunan melalui pesta elektoral, dapat dijadikan sebagai sarana guna mengingatkan kembali pada para kontestan, untuk berpikir serta bekerja nantinya atas dasar kepentingan publik, bukan hanya menjadi representasi dari kelompok tertentu.
Publik tentu bisa menggunakan celah dari kebutuhan para kandidat untuk mengkapitalisasi suara, dengan membawa aspirasi yang dirasakan menjadi kepentingan mendasarnya.Â
Meski kursi kekuasaan kerap melalaikan dan membuat lupa pada seluruh janji yang terlontar saat kampanye, sekurangnya pada periode pengumpulan suara dukungan tersebut, terdapat peluang untuk mengikat para calon pemimpin dimasa depan tersebut, agar dapat menjaga integritas dirinya, dengan mengedepankan amanah dari titipan suara publik itu sendiri. Â Â
Politik sendiri menjadi tema pembicaraan publik yang semakin hangat akhir-akhir ini, tentu saja karena sifatnya yang terkait dengan aksesorisnya, yakni: power, influence, authority, and rule. Selebihnya, pasca keterpilihan secara jamak maka konsentrasi kursi kuasa akan terpusat pada pengelolaan sumberdaya yang langka, yakni penguasaan aset finansial bagi periode kompetisi selanjutnya.Â
Disitu titik kritis publik harus memainkan peran sebagai pemilik kekuasaan yang sesungguhnya, dengan melakukan koreksi atas komitmen yang telah ditabur sebagai janji. Meski sangat mungkin janji tinggalah janji.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H