Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dramatisasi dan Aksi Simbolik Jelang Tenggat Politik

10 Februari 2019   07:45 Diperbarui: 10 Februari 2019   08:03 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Bercengkrama dan beraktifitas bersama publik dalam keseharian kehidupan masyarakat akan menjadi framing dari identitas merakyat. Bukan tidak mungkin, agenda dramatisasi akan semakin masif dalam proses kampanye yang pendek jelang limit, dalam upaya mendorong publisitas, meningkatkan popularitas, berharap akseptabilitas dan pada akhirnya mewujud dalam bentuk elektabilitas. 

Dalam durasi pendek, proses nalar substansial terkait visi dan program kandidat akan menjadi relatif sulit terjangkau, sehingga faktor emosional akan lebih banyak dimainkan.

Pada kajian post truth, hal yang kemudian dikembangkan adalah membangun mekanisme "feeling into" sehingga mengkonstruksi publik melalui kesamaan afeksi sisi emosional, hal ini yang membuat realitas berupa data faktual tidak lagi dibutuhkan, bisa dilakukan dengan menggunakan faktoid yakni data dengan bias interpretasi serta memiliki tendensi kepentingan tertentu.

Sekali lagi, hal tersebut tentu tidak salah sebagai bagian dari dimensi pemasaran politik di tahun politik. Menjadi sebuah kesalahan bila dilakukan tanpa fakta, karena menjadi kebohongan alias hoaks. 

Sementara pada sisi yang berbeda, publik akan menjadi "gadis manis yang hendak dipinang",  sesungguhnya berhak memberikan beban kepada para kandidat, meminta mahar sebagai bentuk komitmen politik, meski bukan money politics. Momentum lima tahunan melalui pesta elektoral, dapat dijadikan sebagai sarana guna mengingatkan kembali pada para kontestan, untuk berpikir serta bekerja nantinya atas dasar kepentingan publik, bukan hanya menjadi representasi dari kelompok tertentu.

Publik tentu bisa menggunakan celah dari kebutuhan para kandidat untuk mengkapitalisasi suara, dengan membawa aspirasi yang dirasakan menjadi kepentingan mendasarnya. 

Meski kursi kekuasaan kerap melalaikan dan membuat lupa pada seluruh janji yang terlontar saat kampanye, sekurangnya pada periode pengumpulan suara dukungan tersebut, terdapat peluang untuk mengikat para calon pemimpin dimasa depan tersebut, agar dapat menjaga integritas dirinya, dengan mengedepankan amanah dari titipan suara publik itu sendiri.    

Politik sendiri menjadi tema pembicaraan publik yang semakin hangat akhir-akhir ini, tentu saja karena sifatnya yang terkait dengan aksesorisnya, yakni: power, influence, authority, and rule. Selebihnya, pasca keterpilihan secara jamak maka konsentrasi kursi kuasa akan terpusat pada pengelolaan sumberdaya yang langka, yakni penguasaan aset finansial bagi periode kompetisi selanjutnya. 

Disitu titik kritis publik harus memainkan peran sebagai pemilik kekuasaan yang sesungguhnya, dengan melakukan koreksi atas komitmen yang telah ditabur sebagai janji. Meski sangat mungkin janji tinggalah janji.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun