Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Politik "Total Football" dan Kegagalan Narasi

1 Februari 2019   10:00 Diperbarui: 1 Februari 2019   10:40 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

MENYERANG adalah bentuk pertahanan terbaik! Slogan tersebut akrab di telinga penikmat olahraga sepakbola, ya skema Total Football namanya. Variasi bentuknya adalah Tiki-Taka, operan pendek yang dominan, sembari terus mengurung teritori lawan dengan tujuan akhir menyarangkan gol, mencapai kemenangan.

Serupa tapi tidak berbeda, alias sama pula dengan yang terjadi di ranah politik kita hari ini. Kontestasi dalam makna kompetisi politik, kemudian menggunakan format model strategi yang sejenis. Kampanye yang menyerang. Attacking Campaign dipergunakan, tentu saja boleh dan dilegalkan, tetapi harus dipahami konsekuensi terkaitnya.

Apa saja kaidah yang perlu diperhatikan dalam pola kampanye yang bersifat ofensif tersebut? Pertama, tentu saja terkait etika, bahwa bentuk serangan tidak elok bila dilekatkan pada persoalan kriteria individual yang bersifat privat, semisal bentuk fisik atau bahkan status keluarga.

Lantas Kedua, terkait dengan manfaat dalam pencapaian tujuan model kampanye tersebut, kita tentu berharap kompetisi politik menghadirkan solusi terbaik bagi seluruh persoalan bangsa ini, bukan justru menghadirkan jurang pemisah yang semakin melebar paska pemilihan.

Kenapa skema politik Total Football dikaitkan dengan kegagalan dalam membangun narasi kebangsaan? Setidaknya, hal tersebut terjelaskan dalam kriteria, (a) hanya berfokus pada pihak yang berlawanan, terlebih aspek mengkritisi seluruh pernyataan kelompok berseberangan tersebut hanya pada tampilan permukaan, bukan substansi, maka istilah pun dipersoalkan "tampang boyolali", "tempe setipis atm", "sontoloyo" dan "genderuwo".

Logika kampanye menyerang, ternyata (b) tidak mempersiapkan alternatif solusi yang menjadi platform tawaran dalam menuntaskan persoalan publik, sibuk menyerang lawan justru mengaburkan konsentrasi untuk berfokus pada kajian masalah publik alias pemilih.

Bahkan untuk petahana sekalipun yang seharusnya mampu bermain dengan ritme yang dimilikinya, justru tampak lebih sibuk dalam gaya menyerang, bisa jadi karena situasi gelanggang yang berubah, sedangkan bagi penantang memang tidak ada cara lain kecuali menyerang, tetapi harus fokus pada esensi dan substansi, sembari memberi bentuk solusi dari apa yang diidentifikasikan sebagai situasi kebuntuan pada periode kali ini.

Menular ke Publik
Lalu apa bahayanya politik menyerang ini bagi demokrasi? Bukankah demokrasi harus beradu gagasan? Benar bahwa bertukar pemikiran dan saling adu kritik bisa dilakukan, tetapi kita kehilangan ruh demokrasi, yakni penciptaan martabat kemanusiaan yang dilembagakan melalui kehidupan berbangsa serta bernegara.

Polarisasi yang membuat, menggumpal dan solid sebagai barisan pendukung para kontestan, saling berebut panggung untuk berteriak dan bersorak bukanlah perilaku yang tercerahkan.

Politik kita hari-hari ini nampak suram. Kelompok pendukung, menduplikasi apa yang dilakukan para pemimpin alias elite yang sedang berlomba memperebutkan kursi kekuasaan. Sebut aja, tabloid Indonesia Barokah, Pembawa Pesan, Kaffah, bahkan bisa menyebut Obor Rakyat adalah produk dari wujud politik Total Football secara riil.

Publik kemudian teracuni limbah politik elite, melupakan persoalan keseharian yang ada, seolah terbawa dalam logika para pencari kuasa, tidak mampu kritis melihat akar persoalan. Benar bahwa kita dihadapkan pada realitas politik, dan kemudian politik berkorelasi pada masalah pilihan serta harapan, maka sudah barang tentu pilihan terbaik adalah mereka yang mampu mengekspresikan pemenuhan harapan secara paripurna dari kepentingan bersama.

Jelas pilihan ada ditangan seluruh pemilik negeri ini, para pemilih pada proses politik nantinya, tetapi bersikap menerima secara taken for granted tanpa ada nalar kritis, adalah titik permulaan bagi kooptasi masalah publik, sekedar menjadi bagian dari politik elite.

Politik aksi-reaksi hanya mengubah keseimbangan temporer alias sementara, terjadi rotasi kepemimpinan pun hanya menjadi bentuk balas-membalas petahana dan oposisi, harus ada upaya dalam kesungguhan membawa persoalan publik menuju hakikat kesejahteraan yang sejati.

Negative & Black Campaign, Kegagalan Pikir
Format model kampanye negatif maupun hitam, adalah bagian dari strategi politik menyerang, kerap muncul di periode pemilihan, seolah tampak mekanistik dan terencana. Keduanya dikenali dari penggunaan fakta, dimana pada kampanye negatif, fakta dipergunakan untuk menunjukan kelemahan kandidat, sedangkan kampanye hitam upaya dekonstruksi seorang calon dilakukan bahkan tanpa fakta, situasinya menjurus pada fitnah.

Pada aturan main dalam proses pemilihan, kampanye negatif masih ditolerir karena ada dasar faktual, sementara black campaign yang berpotensi menciptakan ujaran kebencian -hate speech adalah pelanggaran dan model yang diharamkan.

Merujuk hakikat diantara keduanya, maka kampanye negatif dan hitam adalah bentuk dari ilustrasi tentang minimnya kemampuan mengajak publik untuk berpikir tentang apa yang sesungguhnya kita hadapi saat ini sebagai sebuah bangsa berdaulat, akankah kedaulatan hanya menjadi simbol yang tidak nyata?

Sesuai kenyataannya, maka format negative and black campaign adalah bentuk dari buntunya tawaran solusi, karena masing-masing sibuk pada persoalan posisi pihak lawan, tidak memperkuat pondasinya sendiri, terlebih menjawab keresahan publik.

Hingga pada akhirnya, para kontestan mencoba memukau seluruh pemilih dengan pesona individu yang bisa jadi merupakan bungkus dari citra yang dikonstruksi oleh tangan kepentingan yang tidak terlihat. Jika kemudian publik pun terjerumus pada buaian tersebut, maka kita memang sedang berhadapan dengan situasi anomali yang tentu saja abnormal.

Jangan sampai kita menggadaikan pilihan hanya pada rasionalitas pendek, sebagaimana viral melalui tanggapan pejabat tinggi kepada pemilih yang berasal dari aparatur negara, terkait "siapa yang menggaji Anda?" seolah pilihan adalah soal aspek praktis kekuasaan. Semoga rasionalitas kita tercerahkan dan tidak jatuh dalam kesesatan berpikir yang semakin akut akhir-akhir ini!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun