Jelas pilihan ada ditangan seluruh pemilik negeri ini, para pemilih pada proses politik nantinya, tetapi bersikap menerima secara taken for granted tanpa ada nalar kritis, adalah titik permulaan bagi kooptasi masalah publik, sekedar menjadi bagian dari politik elite.
Politik aksi-reaksi hanya mengubah keseimbangan temporer alias sementara, terjadi rotasi kepemimpinan pun hanya menjadi bentuk balas-membalas petahana dan oposisi, harus ada upaya dalam kesungguhan membawa persoalan publik menuju hakikat kesejahteraan yang sejati.
Negative & Black Campaign, Kegagalan Pikir
Format model kampanye negatif maupun hitam, adalah bagian dari strategi politik menyerang, kerap muncul di periode pemilihan, seolah tampak mekanistik dan terencana. Keduanya dikenali dari penggunaan fakta, dimana pada kampanye negatif, fakta dipergunakan untuk menunjukan kelemahan kandidat, sedangkan kampanye hitam upaya dekonstruksi seorang calon dilakukan bahkan tanpa fakta, situasinya menjurus pada fitnah.
Pada aturan main dalam proses pemilihan, kampanye negatif masih ditolerir karena ada dasar faktual, sementara black campaign yang berpotensi menciptakan ujaran kebencian -hate speech adalah pelanggaran dan model yang diharamkan.
Merujuk hakikat diantara keduanya, maka kampanye negatif dan hitam adalah bentuk dari ilustrasi tentang minimnya kemampuan mengajak publik untuk berpikir tentang apa yang sesungguhnya kita hadapi saat ini sebagai sebuah bangsa berdaulat, akankah kedaulatan hanya menjadi simbol yang tidak nyata?
Sesuai kenyataannya, maka format negative and black campaign adalah bentuk dari buntunya tawaran solusi, karena masing-masing sibuk pada persoalan posisi pihak lawan, tidak memperkuat pondasinya sendiri, terlebih menjawab keresahan publik.
Hingga pada akhirnya, para kontestan mencoba memukau seluruh pemilih dengan pesona individu yang bisa jadi merupakan bungkus dari citra yang dikonstruksi oleh tangan kepentingan yang tidak terlihat. Jika kemudian publik pun terjerumus pada buaian tersebut, maka kita memang sedang berhadapan dengan situasi anomali yang tentu saja abnormal.
Jangan sampai kita menggadaikan pilihan hanya pada rasionalitas pendek, sebagaimana viral melalui tanggapan pejabat tinggi kepada pemilih yang berasal dari aparatur negara, terkait "siapa yang menggaji Anda?" seolah pilihan adalah soal aspek praktis kekuasaan. Semoga rasionalitas kita tercerahkan dan tidak jatuh dalam kesesatan berpikir yang semakin akut akhir-akhir ini!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H