Kejadian Tsunami Anyer yang baru-baru saja terjadi, jelas membawa duka. Kita bersimpati atas para korban. Musibah akibat terjangan ombak dari longsoran hasil erupsi anak Krakatau, ternyata luput dari pantauan. Polemik selalu terjadi paska bencana.
Tentu saja kita perlu belajar dan mengevaluasi diri atas kejadian ini, karena alam memiliki kemampuan destruktif yang kerapkali sulit diprediksi, tetapi tentu saja tidak menghilangkan keharusan untuk bersikap waspada dalam kesiapsiagaan.
Paska bencana, pembahasan yang mengemuka tentu saja tentang siapa yang seharusnya mengambil peran dan bertanggungjawab atas kegagalan proteksi dan pemberitahuaan peringatan dini sebagai antisipasi bagi publik.
Tetapi kita tinggalkan hal tersebut, karena faktornya menjadi sedemikian kompleks, mulai dari minimnya dana yang tersedia, rusaknya fasilitas peralatan yang ada, serta ketidakmampuan untuk mengestimasi potensi bencana.
Selayaknya sebuah bencana, maka kita tentu tidak pernah berharap terjadi, tetapi harus terdapat upaya untuk dapat mempersiapkan diri berhadapan dengan situasi alam yang kita huni saat ini. Krakatau, memiliki sejarah panjang dalam riwayat ledakan yang massif, sebagaimana ditampilkan melalui film produksi BBC, "Krakatoa, the Last Day" pada 2006 silam.
Sebuah film yang ditampilkan dari kisah nyata atas kejadian ledakan yang mahadahsyat bertahun 1883 itu, menyisakan nestapa sebagaimana yang kini kita rasakan. Gelegar Krakatoa saat itu, secara epik erupsi terjadi tidak hanya menghasilkan gelombang Tsunami yang mampu merubuhkan menara mercusuar Anyer, tetapi juga secara bersamaan menimbulkan gelombang awan material panas yang terhembus saat ledakan gunung berapi itu terjadi, menerjang dalam radius jangkauan nan luas, walhasil sejauh mata memandang terjadi kerusakan.
Posisi induk Krakatau saat itu, setelah mengalami erupsi tanpa henti kemudian menyebabkan kekosongan dapur magma, hingga akhirnya menyebabkan keruntuhan dinding penyangga gunung secara gigantik.
Akibatnya, sebagaimana longsoran yang terjadi saat ini, material yang jatuh ke laut menghantarkan massa tambahan ke bibir pantai sebagai Tsunami. Hukum Archimedesterkait benda yang tertumpahkan dari bejana, yang setara dengan volume benda masuk kedalam bejana itu sendiri, seolah dapat mengilustrasikan betapa dahsyatnya Tsunami susulan itu terjadi.
Melunakan Ego
Tentu bukan pada tempatnya tulisan ini dijadikan sebagai resensi filmografi, karena bukan disitu letak persoalan yang hendak diperoleh melalui efek pembelajaran darispirit film tersebut. Banyak hal yang dapat dijadikan sebagai evaluasi, terutama tentu saja tentang ketidakmampuan kita untuk melihat gelagat alam secara cermat, atau bahkan kerap mengabaikan situasi perubahan yang terjadi.
Bencana adalah bentuk kerusakan yang terjadi tanpa pernah dirancakan waktu dan tempatnya, dengan demikian manusia perlu untuk memberikan ruang bersahabat dengan tempat kehidupannya tersebut. Kerusakan alam juga kerapkali terjadi, tanpa disertai dengan bentuk bencana alam, bahkan seringkali justru terjadi akibat tangan-tangan manusia yang membuat kerusakan itu.
Ilmu pengetahuan yang positivistik, dalam terminologi empirik analitik pada ilmu alam kerapkali dianggap sebagai formula yang mumpuni, disertai dengan kepemilikan perangkat teknologi, menyebabkan kepongahan manusia dalam menjawab interaksi asimetrik antara manusia dan alam.
Rasionalitas pengetahuan, yang dipuja-puja dapat mendukung manusia untuk mempertahankan eksistensinya dalam menaklukan alam, justru semakin memperlihatkan betapa tidak berdayanya manusia berhadapan dengan sesuatu yang berada di luar kontrol dirinya.
Kegagalan ilmu prediksi alam melalui pengetahuan yang dimiliki, membuat kita memang perlu bermenung diri untuk memandang jauh ke dalam diri kita sendiri, tentang kontribusi kita dalam memperhatikan alam yang semakin tahun mengalami pertambahan beban, sebagai akibat dari dampak kegiatan manusia.
Sudahkah kita membuka ruang tersebut? Apakah dalam kerangka kebijakan pembangunan ditingkat terkecil hingga level tertinggi bernegara kita telah menerapkan prinsip bersahabat dengan alam?
Kali ini kita patut belajar lebih serius, termasuk mengambil hikmah dari kisah-kisah dimasa lalu, bahwa upaya kita berinteraksi dengan alam, harus disikapi dalam kerangka adaptif, yakni kita tidak akan pernah mampu menaklukannya, melainkan harus bersahabat dan semakin mengenalinya.
Doa terbaik untuk seluruh korban, kita sungguh mendapatkan pelajaran berharga kali ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H