Ilmu pengetahuan yang positivistik, dalam terminologi empirik analitik pada ilmu alam kerapkali dianggap sebagai formula yang mumpuni, disertai dengan kepemilikan perangkat teknologi, menyebabkan kepongahan manusia dalam menjawab interaksi asimetrik antara manusia dan alam.
Rasionalitas pengetahuan, yang dipuja-puja dapat mendukung manusia untuk mempertahankan eksistensinya dalam menaklukan alam, justru semakin memperlihatkan betapa tidak berdayanya manusia berhadapan dengan sesuatu yang berada di luar kontrol dirinya.
Kegagalan ilmu prediksi alam melalui pengetahuan yang dimiliki, membuat kita memang perlu bermenung diri untuk memandang jauh ke dalam diri kita sendiri, tentang kontribusi kita dalam memperhatikan alam yang semakin tahun mengalami pertambahan beban, sebagai akibat dari dampak kegiatan manusia.
Sudahkah kita membuka ruang tersebut? Apakah dalam kerangka kebijakan pembangunan ditingkat terkecil hingga level tertinggi bernegara kita telah menerapkan prinsip bersahabat dengan alam?
Kali ini kita patut belajar lebih serius, termasuk mengambil hikmah dari kisah-kisah dimasa lalu, bahwa upaya kita berinteraksi dengan alam, harus disikapi dalam kerangka adaptif, yakni kita tidak akan pernah mampu menaklukannya, melainkan harus bersahabat dan semakin mengenalinya.
Doa terbaik untuk seluruh korban, kita sungguh mendapatkan pelajaran berharga kali ini.