Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Budaya Digital di Dunia yang Banjir Informasi

13 November 2018   05:16 Diperbarui: 13 November 2018   05:41 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Termasuk diantaranya, mengatasi kemungkinan viralitas buruk yang berpotensi menjadi persoalan publik, bahkan lebih jauh dapat menjadi bibit perpecahan didalam masyarakat itu sendiri. Hal ini, dicermati sebagai bagian yang dapat mengancam ketahanan nasional, (Gunawan & Ratmono, 2018), situasi tersebut bisa berasal dari stimulasi pihak eksternal maupun akibat kemelut internal. Dunia yang semakin hiruk pikuk, membuat kita sulit menimbang dengan matang, dan justru kerap terjadi misinformasi.

Mungkinkah ada Harapan?

Tentu membicarakan dampak buruk saja, tidak menjadi imbang bila kita tidak melihat aspek positif yang ditimbulkan dari jagad online. Kemudahan akses, dianggap sebagai salah satu hal yang paling mendasar, meski demikian kita akan berbicara lebih mendalam dibagian berikutnya, menyangkut mitos tersebut. 

Pada prinsipnya, proses keterhubungan ini meyebabkan semua pihak yang terlibat memiliki kepedulian akan suatu aspek bahasan tertentu. Dan dengan demikian, semua hal seolah menjadi sangat terpantau, terjadi akuntabilitas sebagai akibat transparansi proses didalam internet.

Sebagaimana forum petisi di media online, yang kerap memunculkan tema serta isu yang tidak terangkat melalui media mainstream. Kini kita hidup di eraonline democracy, yang juga disebut sebagai clickocracy, sekali click lantaslike and share dapat berujung pada perubahan tatanan laku sosial. 

Pelajaran tersebut dapat dilihat melalui kasus Arabian Spring, musim semi arus demokratisasi di kawasan Timur Tengah yang terbangun melalui interkoneksi internet, Twitter dan Facebook, menjalar dari Tunisia hingga Mesir, terjadi perlawanan atas rejim status quo nan otoriter.

Pada hakikatnya, keberadaan internet sebagai virtual space tidaklah bebas nilai, terdapat berbagai kepentingan disana. Dengan situasi tersebut, menurut (Nurudin, 2017) maka teknologi menghasilkan masyarakat yang semakin terbuka, sensitif atas suatu masalah, bahkan sangat cerewet lantas mudah bergerak dalam pengelompokan online berdasarkan #hashtag yang diartikan sebagai kepentingan bersama. 

Namun pada sisi berbeda, menghadirkan topeng citra. Permainan selubung identitas ini yang kemudian harus dapat dikenali melalui literasi media dan new media -ketermelekan media.

Dengan demikian, keniscayaan teknologi tampil tidak dalam ruang hampa melainkan disertai dengan berbagai peralatan pendukung. Termasuk diantaranya, berdasarkan (Darmawan, Nurhandjati, Kartini, 2014) dibutuhkan kesiapan infrastruktur mental, berupa kemampuan untuk memaknai kehadiran teknologi, sebagai pendukung sekaligus perangkat alat kerja yang membantu kehidupan kita sebagai individu di dalam masyarakat. 

Hal ini dicermati dari perilaku pemilih dalam pelaksanaan demokrasi pemilihan politik secara digital melalui e-voting, dimana aspektrust menjadi hal utama dalam merawat harapan akan kehidupan demokrasi yang lebih baik.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun