Terlebih, BPJS Kesehatan memang adalah badan otonom yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Jadi, merupakan sebuah kekeliruan bila urusan tersebut harus selesai dan ditempatkan pada level koordinasi menteri kesehatan serta direktur BPJS Kesehatan itu sendiri.Â
Posisinya pelik, menaikan premi adalah tindakan tidak populer, bukan sebuah kebijakan populis, dampaknya bisa menggerus citra dari wajah pemerintahan itu sendiri, serba salah tentunya bagi kepentingan kekuasaan di tahun politik.
Ruang Konflik Pelayanan
Pada tingkatan teknis, asumsi defisit yang menggelembung yang sekitar Rp16.5T itu tentu tidak bisa ditutup dengan dana bantalan bailout yang hanya Rp 4.9T.
Situasi ini jelas seolah menyimpan bara dalam sekam. Hal itu pula yang mengakibatkan BPJS Kesehatan melakukan akrobatik pengelolaan. Kita belum masuk kepada masalah apakah BPJS Kesehatan telah efektif dan efisien dalam melakukan kelolaan profesional program kesehatan semesta yang akan terintegrasi utuh secara nasional pada 2019.
Indikasi paling mudahnya saat ini, terletak pada model rujukan berjenjang, pembatasan layanan, hingga keterlambatan pembayaran klaim pemberi layanan yakni rumah sakit, yang didalamnya terdapat jasa profesi dokter.
Bahkan beberapa waktu lalu, institusi kemiliteran menyampaikan keberatan terkait pola rujuk yang ditetapkan, tetapi hanya instrumen kebijakan serta aturan prosedur sajalah yang dimiliki BPJS Kesehatan. Dengan begitu, upaya efektifitas dan efisiensi bagi BPJS Kesehatan ditempuh melalui berbagai peraturan.
Tidak berhenti disitu, umpan lambung pemerintah dalam bentuk partial bailout, membuat BPJS Kesehatan menilai ada persoalan fraud dari pemberi layanan, audit dilakukan dengan ketetapan yang berlaku backdated, konsekuensinya perpanjangan perjanjian kerjasama.
Hal ini jelas membuat meradang pihak pemberi layanan, bukan kepastian dan kelancaran pembayaran klaim yang didapat, malah sebaliknya justru audit yang diterima.
Kekacauan jelas terjadi, publik kemudian merasa dibatasi dan menjadi sulit dengan proses rujukan yang berubah, dokter dan institusi rumah sakit masing menunggj kepastian pembayaran, dan BPJS Kesehatan sekalipun masih memiliki senjang defisit yang terbuka lebar.
Sesungguhnya, dalam posisi terminal seperti itu, titik resolusinya terletak ditangan pengambil keputusan. Komitmen politik yang tegas perlu dinyatakan pemerintah, dibanding menggunakan pendekatan standar ganda dan menimbulkan ambigu.