Mohon tunggu...
Yudhi Hertanto
Yudhi Hertanto Mohon Tunggu... Penulis - Simple, Cool and Calm just an Ordinary Man

Peminat Komunikasi, Politik dan Manajemen

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Defisit BPJS Kesehatan, Tanggung Jawab Siapa?

18 Oktober 2018   16:10 Diperbarui: 18 Oktober 2018   18:05 1721
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: (KOMPAS.com/Ihsanuddin)

Banyak hal yang perlu dikoreksi dalam implementasi BPJS Kesehatan, defisit adalah titik akumulasi dari serangkaian kekurangan yang terjadi dalam pengelolaan program jaminan kesehatan nasional tersebut. 

Pernyataan Presiden tentang teguran keras ke Direktur BPJS Kesehatan, terkait solusi defisit yang selalu ditumpukan melalui dana bailout pemerintah, pada Kongres Perhimpunan Rumah Sakit seluruh Indonesia beberapa waktu lalu menimbulkan ruang pertanyaan baru, terkait tugas dan tanggungjawab.

Sektor kesehatan merupakan salah satu bagian yang selalu mendapat sorotan dan perhatian publik. Setidaknya, kombinasi isu publik tersedot pada masalah ekonomi, pendidikan dan kesehatan. 

Bahkan, tema-tema tersebut menjadi sangat krusial saat berkaitan dengan momentum kampanye politik. Kandidat yang unggul dalam kontestasi politik harus mampu merangkum program kerja yang mumpuni setidaknya pada sektor yang terkait hajat publik, yakni: ekonomi, pendidikan dan kesehatan.

Dengan demikian, sektor kesehatan akan menjadi sangat politis, dan menggunakan logika tersebut maka melalui mekanime politik juga penyelesaian masalah kesehatan dapat ditangani. 

Dalam kerangka reflektif, kita akan secara perlahan melihat relasi-relasi terkait dibidang ekonomi-politik yang berkelindan dengan isu kesehatan publik, dan dalam kerangka ketahanan nasional pada upaya membangun keunggulan bersaing, indikator pencapaian tingkat kesehatan publik adalah bagian terkait.

Secara menyeluruh, kehadiran BPJS Kesehatan adalah wujud dari upaya perlindungan sosial untuk dapat memastikan aksesibilitas publik ke pusat layanan kesehatan, ketika mengalami sakit. Problemnya, sektor kesehatan sedari awal telah dilepas melalui mekanisme pasar, sehingga faktor supply and demand menjadi bagian penentu secara ekonomis. 

Gagasan dan tujuan mulia tersebut, terkait jaminan kesehatan bagi publik dilakukan dalam kerangka yang terlampau luas, baik dalam tingkat cakupan maupun manfaatnya.

Persoalan lalu mengemuka, bersamaan dengan premi dalam konsep asuransi sosial tersebut, nilai keekonomian yang seharusnya diukur dari tingkat risiko potensi penyakit, direduksi menjadi nilai minimal yang mengenyampingkan kalkulasi aktuaria tersebut.

Maka selanjutnya, mudah ditebak, defisit muncul sebagai konsekuensi logis dari penentuan yang tidak disandarkan atas profil risiko tersebut. Walhasil, pembiayaan lebih besar dari pendapatan.

Tetapi, sekali lagi sektor kesehatan memiliki magnitude politik yang besar, dengan demikian perkara penentuan nilai premi layanan BPJS Kesehatan bukan sekedar problem sederhana mengikuti harga keekonomian, melainkan harus melalui persetujuan kuasa tertinggi atas pengambilan keputusan serta kebijakan publik.

Terlebih, BPJS Kesehatan memang adalah badan otonom yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Jadi, merupakan sebuah kekeliruan bila urusan tersebut harus selesai dan ditempatkan pada level koordinasi menteri kesehatan serta direktur BPJS Kesehatan itu sendiri. 

Posisinya pelik, menaikan premi adalah tindakan tidak populer, bukan sebuah kebijakan populis, dampaknya bisa menggerus citra dari wajah pemerintahan itu sendiri, serba salah tentunya bagi kepentingan kekuasaan di tahun politik.

Ruang Konflik Pelayanan

Pada tingkatan teknis, asumsi defisit yang menggelembung yang sekitar Rp16.5T itu tentu tidak bisa ditutup dengan dana bantalan bailout yang hanya Rp 4.9T.

Situasi ini jelas seolah menyimpan bara dalam sekam. Hal itu pula yang mengakibatkan BPJS Kesehatan melakukan akrobatik pengelolaan. Kita belum masuk kepada masalah apakah BPJS Kesehatan telah efektif dan efisien dalam melakukan kelolaan profesional program kesehatan semesta yang akan terintegrasi utuh secara nasional pada 2019.

Indikasi paling mudahnya saat ini, terletak pada model rujukan berjenjang, pembatasan layanan, hingga keterlambatan pembayaran klaim pemberi layanan yakni rumah sakit, yang didalamnya terdapat jasa profesi dokter.

Bahkan beberapa waktu lalu, institusi kemiliteran menyampaikan keberatan terkait pola rujuk yang ditetapkan, tetapi hanya instrumen kebijakan serta aturan prosedur sajalah yang dimiliki BPJS Kesehatan. Dengan begitu, upaya efektifitas dan efisiensi bagi BPJS Kesehatan ditempuh melalui berbagai peraturan.

Tidak berhenti disitu, umpan lambung pemerintah dalam bentuk partial bailout, membuat BPJS Kesehatan menilai ada persoalan fraud dari pemberi layanan, audit dilakukan dengan ketetapan yang berlaku backdated, konsekuensinya perpanjangan perjanjian kerjasama.

Hal ini jelas membuat meradang pihak pemberi layanan, bukan kepastian dan kelancaran pembayaran klaim yang didapat, malah sebaliknya justru audit yang diterima.

Kekacauan jelas terjadi, publik kemudian merasa dibatasi dan menjadi sulit dengan proses rujukan yang berubah, dokter dan institusi rumah sakit masing menunggj kepastian pembayaran, dan BPJS Kesehatan sekalipun masih memiliki senjang defisit yang terbuka lebar.

Sesungguhnya, dalam posisi terminal seperti itu, titik resolusinya terletak ditangan pengambil keputusan. Komitmen politik yang tegas perlu dinyatakan pemerintah, dibanding menggunakan pendekatan standar ganda dan menimbulkan ambigu.

Persoalannya, mungkinkah hal ini mampu dijawab pada situasi tahun politik? Tentu sulit untuk menjawabnya, dan dalam posisi menggantung seperti ini ruang konflik akan semakin terbuka dan menajam, yang pasti semua pihak mendapatkan efek kerugian, mulai dari keterlambatan pelayanan kesehatan hingga ketertundaan pembayaran klaim. Lantas para pihak saling curiga, padahal ada persoalan nyawa yang dipertaruhkan di depan mata. Semoga saja segera terselesaikan dan angin badai ini lekas berlalu!.

Disclaimer: Tulisan ini ditujukan untuk semua pihak terkait tanpa tendensi politik tertentu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun