Permasalahan yang dialami BPJS Kesehatan tidak luput dari perhatian media massa. Termasuk media online Kompas.com yang memberikan porsi perhatian akan persoalan penanganan kesehatan publik, dimulai dari perubahan dalam prosedur peraturan layanan, hingga tidak ditanggungnya beberapa jenis tindakan kesehatan bagi publik, disertai dengan tunggakan pembayaran klaim pelayanan, ditambah lagi persoalan terbesar yakni ketiadaan kas dana operasional BPJS Kesehatan, serta lambannya respon pemerintah untuk dapat bertindak dalam persoalan tersebut, yang pada akhirnya keudian ditangani secara "setengah hati"dengan melakukan tambalan parsial atas defisit yang diambil dari cukai rokok, sehingga berpotensi mengilustrasikan perokok sebagai "pahlawan kesehatan".
Bola panas itu, bermula dari penerapan prosedur baru dalam layanan BPJS Kesehatan, hal ini sebagaimana (Akhdi Martin Pratama & Erlangga Djumena, 2018) laporkan dalam artikel "Keluarkan 3 Aturan Baru, BPJS Kesehatan Bisa Hemat Rp 360 Miliar", yang diperkuat oleh statement Deputi Direksi Bidang Jaminan Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Mohamad Arief, terkait Penjaminan Pelayanan Katarak, Pelayanan Persalinan Dengan Bayi Baru Lahir Sehat, dan Pelayanan Rehabilitasi Medik.
"Efisiensi yang diharapkan atas penataan penjaminan ketiga tindakan ini hampir sekitar Rp 360 miliar apabila dilaksanakan sejak Juli ini," ujar Budi di Jakarta, Senin (30/7/2018).
Maka tidak ayal, hal itu kemudian ditanggapi oleh asosiasi profesi kedokteran dalam hal ini Ikatan Dokter Indonesia (IDI), persis laporan yang disampaikan (David Oliver Purba & Egidius Patnistik, 2018) melalui berita, "PB IDI: 3 Aturan Baru BPJS Kesehatan Akan Merugikan Pasien", di mana Ketua Pengurus Besar IDI Ilham Oetama Marsis mengatakan, hal tersebut akan mengurangi mutu layanan kesehatan, bahkan mengorbankan keselamatan pasien.
"Sebagai organisasi profesi, kami menyadari adanya defisit pembiayaan JKN. Namun, hendaknya hal tersebut tidak mengorbankan keselamatan pasien, mutu layanan kesehatan, dan kepentingan masyarakat," ujar Marsis dalam konfrensi pers di Kantor IDI Pusat, di Jakarta, Kamis (2/8/2018).
Kondisi kisruh tersebut, kemudian direspon pemerintah melalui Wakil Presiden, sebagaimana (Yoga Sukmana & Krisiandi, 2018) dalam "BPJS Kesehatan Terus Alami Defisit, JK Minta Layanan Diefisiensi", Wapres Jusuf Kalla meminta BPJS Kesehatan melakukan efisisensi layanan menyusul terjadinya defisit anggaran di BUMN tersebut yang terus terjadi.
"Bukan mengurangi (layanan), tapi mengefisienkan layanan," ujarnya di Kantor Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (7/8/2018).
Sejurus kemudian, Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi yang menjadi bagian dalam upaya penyediaan obat-obatan pun menyampaikan keluhan sejalan dengan ketidakmampuan BPJS Kesehatan dalam membayar tagihan yang telah ditunaikan oleh GP Farmasi.Â
Hal ini termuat dalam (Sakina Rakhma Diah Setiawan, 2018) pada"Tunggakan Rp 3,5 Triliun, BPJS Kesehatan Nantikan Dana dari Pemerintah", hal tersebut dikarenakan BPJS Kesehatan yang defisit dan masih menunggu suntikan dana dari pemerintah untuk menutup tunggakan utang obat.
"Beberapa waktu yang lalu, kita sudah bertemu dengan Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi, ya kami sudah buka semuanya secara transparan. Dan mereka cukup mengerti dengan keadaan kita sekarang," ujar Kepala Humas BPJS Kesehatan, M Iqbal Anas Ma'ruf kepadaKontan.co.id, Kamis (6/9/2018).
Pada tingkat operasional, kondisi yang membingungkan dan keterlambatan pembayaran mengakibatkan terjadinya gangguan pelayanan. Seperti laporan (Jessi Carina & Egidius Patnistik, 2018) dalam "BPJS Kesehatan Telat Bayar Klaim RSUD, Pemprov DKI Pusing Cari Solusi", bahwa tunggakan klaim BPJS Kesehatan itu menjadi piutang bagi RSUD. Mereka memiliki uang, hanya saja uangnya berbentuk piutang yang belum tahu kapan bisa cair. Akibatnya berdampak pada terganggunga hal operasional rumah sakit.
"Begini, jadi terjadi keterlambatan pembayaran BPJS mengakibatkan keterlambatan di sini juga. Jadinya kami juga punya hutang obat ke pasien, misalnya (minta) 1 bulan, kami hanya punya (stok obat untuk) 2 minggu," kata Kepala Humas RSUD Pasar Rebo Sukartiono Pri Prabowo saat ditemui Kompas.com, di RSUD Pasar Rebo, Jakarta Timur, Rabu (12/9/2018).
Imbas yang tidak dapat ditolak, khususnya bagi rumah sakit swasta yang melakukan pengelolaan keuangan secara swadaya adalah turunan berantai dari keterlambatan pembayaran klaim, yakni telatnya jasa medis dokter dan gaji karyawan.Â
Sesuai dengan artikel (Mela Arnani & Bayu Galih, 2018) pada"Viral, Surat RS soal Honor Dokter Telat karena BPJS Belum Bayar Klaim", laporan tersebut menyebut Direktur Rumah Sakit (RS) Karya Husada di Karawang, Pundi Ferianto melalui akun facebook pribadinya, memberitahukan bahwa terjadi keterlambatan pembayaran honor dokter spesialis/dokter gigi disebabkan belum adanya pembayaran klaim dari BPJS Kesehatan.
"Tunggakan klaim pembayaran tersebut adalah pelayanan bulan Juni yang jatuh tempo pada 9 Agustus 2018 dan pelayanan bulan Juli yang jatuh tempo pada 9 September 2018. Nominal penunggakan yang disebutkan di surat itu sebesar Rp 6.689.829.100 (enam miliar enam ratus delapan puluh sembilan juta delapan ratus dua puluh sembilan ribu seratus rupiah)", unggah Pundi.
Buntut panjang dari persoalan desifit tersebut, kemudian berlanjut hingga dilakukan gugatan hukum kepada BPJS Kesehatan yang disebabkan oleh berkurangnya manfaat yang diterima oleh pasien, khususnya penderita kanker, seperti berita (Nibras Nada Nailufar & Egidius Patnistik, 2018) berjudul "Gugatan Pengidap Kanker Payudara terhadap BPJS Berujung Damai", pengidap kanker payudara Juniarti, yang menggugat BPJS Kesehatan karena tak menanggung obat Trastuzumab, akhirnya berdamai dengan lembaga penjamin kesehatan itu.
"Sudah terjadi kesepakatan, BPJS Kesehatan tetap menjamin obat Trastuzumab," kata Rusdianto Matulatuwa, kuasa hukum Juniarti ketika dikonfirmasi, Jumat (28/9/2018)
Hal ini jelas memprihatinkan, terutama karena dengan alasan defisit maka kemudiaan terjadi pengurangan manfaat secara sepihak, disisi lain pemerintah tidak juga bersikap dan bertindak atas situasi tersebut, arahan untuk menunggu hasil audit seolah bentuk kecurigaan atas potensi kebohongan secara manipulative merupakan sebuah tuduhan yang tidak berdasar.Â
Terlebih, dalam kajian lembaga sosial, terdapat persoalan lain dalam pengelolaan BPJS Kesehatan, sebagaimana (Devina Halim & Inggried Dwi Wedhaswary, 2018) dalam "Riset: BPJS Kesehatan Belum Jangkau Beberapa Kelompok, Apa Saja?", bahwa riset yang dilakukan oleh Lokataru Foundation menemukan bila Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) belum menjangkau beberapa kelompok tertentu.
"Program BPJS Kesehatan pada kenyataannya belum menyentuh semua lapisan masyarakat, kelompok yang ditinggalkan adalah anak dalam kandungan atau bayi baru lahir, penyandang disabilitas, dan korban kekerasan", sebut peneliti dalam riset tersebut, Atnike Sigiro.
Hingga kemudian pada akhirnya, setelah polemik yang berlarut, disertai dengan konflik yang terjadi antara stakeholder dalam penyelenggaraan program BPJS Kesehatan, maka pemerintah baru memberikan persetujuan atas upaya subsidi tambalan defisit, seperti yang disampaikan (Sakina Rakhma Diah Setiawan, 2018) dalam "Dana Talangan BPJS Kesehatan Rp 4,9 Triliun Sudah Cair", dengan mekanisme Peraturan Menteri Keuangan No 113/ 2018 Tata Cara Penyediaan Pencairan dan Pertanggungjawaban Dana Cadangan Program Jaminan Kesehatan Nasional.
"Dana talangan Rp 4,9 triliun itu berdasarkan tunggakan BPJS Kesehatan kepada rumahsakit hingga Juli 2018. Sementara per September tunggakan sudah mencapai Rp 7,05 triliun. Dimana saat ini BPJS Kesehatan memiliki kerjasama dengan 2.434 rumahsakit di seluruh Indonesia, dan sudah memiliki daftar-daftar rumahsakit yang perlu dibayarkan", sebut Kepala Humas BPJS Kesehatan, M Iqbal Anas Ma'ruf
Kondisi ini jelas memberikan efek kelegaan sementara, karena dana bailout sebagai tambalan yang diberikan tidak mampu memenuhi seluruh defisit yang terjadi.Â
Situasi ini diperkeruh dengan pengambilan alokasi dana subsidi kesehatan dari cukai rokok, sebuah hal yang kontradiktif atas persoalan kesehatan karena dampak terbesar yang dihasilkan oleh rokok dan aktifitas merokok itu sendiri. Hal ini tercermin pada laporan (Andri Donnal Putera & Erlangga Djumena, 2018) lewat artikel "Cukai Ikut Tambal BPJS Kesehatan, YLKI Berharap Produksi Rokok Tak Naik", ambigu ini dapat mengasosiasikan kegiatan merokok berguna bagi program kesehatan.
"Jika dana penambal defisit BPJS Kesehatan dari Dana Bagi Hasil (DBH) Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau pajak rokok di daerah tidak disalah tafsirkan. Maka jangan sampai ada pandangan yang menilai pemerintah mengobati warganya dengan cara mengeksploitasi warga lain untuk tambah sakit. Eksploitasi yang dimaksud dalam arti menggali dana dari pajak rokok di daerah yang disamakan dengan tetap membiarkan masyarakat untuk tetap merokok. Sementara pajak rokok dipakai untuk mengobati pasien peserta BPJS Kesehatan", pesan Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi.
Pertambahan jumlah kepesertaan, dari program kesehatan nasional yang akan terintegrasi menyeluruh pada 2019 tersebut, diklaim sebagai kesuksesan program pemerintah, sementara itu pada realitas yang terjadi dilapangan, terdapat kegagalan atas klaim layanan serta tunggakan pembayaran kepada fasilitas pelayanan kesehatan.Â
Lebih jauh lagi, terdapat potensi ketidakmampuan untuk melakukan pembiayaan program BPJS Kesehatan atas program tersebut, mengingat lebarnya jurang defisit yang terjadi. Situasi dan kondisi tersebut, jelas berpotensi untuk menimbulkan konflik antar parapihak yang terkait dalam layanan BPJS Kesehatan, lantas dimana peran negara?
Padahal sejatinya, sebuah kebijakan kesehatan menjadi penting untuk dapat dipertanggungjawabkan kehadapan publik berkaitan dengan perannya secara produktif untuk mendukung terbentuknya basis sumberdaya manusia yang tangguh, serta dapat menjadi sarana membangun kemampuan untuk berdaya saing.Â
Kebijakan publik dibidang kesehatan, akan dibentuk dengan memperhatikan kesetimbangan hubungan yang terjadi diantara stakeholderterkait, diantaranya; penerima layanan yaitu pasien, operator program yakni BPJS Kesehatan, pemberi pelayanan seperti dokter dan rumah sakit, serta pemerintah selaku pemangku kebijakan terbesar.
Terlebih situasi penyelesaian jangka pendek dalam bentuk dana talangan pemerintah kepada BPJS Kesehatan bersifat sangat temporer dan hanya sementara, padahal dibutuhkan solusi permanen bagi kontinuitas program dikemudian hari.Â
Perlu ada terobosan lain dalam menuntaskan program populer BPJS Kesehatan agar tidak sekedar menjadi komoditas politik, yang selalu menjadi bahan kampanye untuk mendulang dukungan. Karena potensi letupan konflik, selalu akan timbul pada waktu dimasa mendatang, seiring dengan pertambahan massif jumlah peserta di 2019. Penyelesaian kali ini masih menyisakan tanya dan meninggalkan titik persoalan baru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H