"Begini, jadi terjadi keterlambatan pembayaran BPJS mengakibatkan keterlambatan di sini juga. Jadinya kami juga punya hutang obat ke pasien, misalnya (minta) 1 bulan, kami hanya punya (stok obat untuk) 2 minggu," kata Kepala Humas RSUD Pasar Rebo Sukartiono Pri Prabowo saat ditemui Kompas.com, di RSUD Pasar Rebo, Jakarta Timur, Rabu (12/9/2018).
Imbas yang tidak dapat ditolak, khususnya bagi rumah sakit swasta yang melakukan pengelolaan keuangan secara swadaya adalah turunan berantai dari keterlambatan pembayaran klaim, yakni telatnya jasa medis dokter dan gaji karyawan.Â
Sesuai dengan artikel (Mela Arnani & Bayu Galih, 2018) pada"Viral, Surat RS soal Honor Dokter Telat karena BPJS Belum Bayar Klaim", laporan tersebut menyebut Direktur Rumah Sakit (RS) Karya Husada di Karawang, Pundi Ferianto melalui akun facebook pribadinya, memberitahukan bahwa terjadi keterlambatan pembayaran honor dokter spesialis/dokter gigi disebabkan belum adanya pembayaran klaim dari BPJS Kesehatan.
"Tunggakan klaim pembayaran tersebut adalah pelayanan bulan Juni yang jatuh tempo pada 9 Agustus 2018 dan pelayanan bulan Juli yang jatuh tempo pada 9 September 2018. Nominal penunggakan yang disebutkan di surat itu sebesar Rp 6.689.829.100 (enam miliar enam ratus delapan puluh sembilan juta delapan ratus dua puluh sembilan ribu seratus rupiah)", unggah Pundi.
Buntut panjang dari persoalan desifit tersebut, kemudian berlanjut hingga dilakukan gugatan hukum kepada BPJS Kesehatan yang disebabkan oleh berkurangnya manfaat yang diterima oleh pasien, khususnya penderita kanker, seperti berita (Nibras Nada Nailufar & Egidius Patnistik, 2018) berjudul "Gugatan Pengidap Kanker Payudara terhadap BPJS Berujung Damai", pengidap kanker payudara Juniarti, yang menggugat BPJS Kesehatan karena tak menanggung obat Trastuzumab, akhirnya berdamai dengan lembaga penjamin kesehatan itu.
"Sudah terjadi kesepakatan, BPJS Kesehatan tetap menjamin obat Trastuzumab," kata Rusdianto Matulatuwa, kuasa hukum Juniarti ketika dikonfirmasi, Jumat (28/9/2018)
Hal ini jelas memprihatinkan, terutama karena dengan alasan defisit maka kemudiaan terjadi pengurangan manfaat secara sepihak, disisi lain pemerintah tidak juga bersikap dan bertindak atas situasi tersebut, arahan untuk menunggu hasil audit seolah bentuk kecurigaan atas potensi kebohongan secara manipulative merupakan sebuah tuduhan yang tidak berdasar.Â
Terlebih, dalam kajian lembaga sosial, terdapat persoalan lain dalam pengelolaan BPJS Kesehatan, sebagaimana (Devina Halim & Inggried Dwi Wedhaswary, 2018) dalam "Riset: BPJS Kesehatan Belum Jangkau Beberapa Kelompok, Apa Saja?", bahwa riset yang dilakukan oleh Lokataru Foundation menemukan bila Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) belum menjangkau beberapa kelompok tertentu.
"Program BPJS Kesehatan pada kenyataannya belum menyentuh semua lapisan masyarakat, kelompok yang ditinggalkan adalah anak dalam kandungan atau bayi baru lahir, penyandang disabilitas, dan korban kekerasan", sebut peneliti dalam riset tersebut, Atnike Sigiro.
Hingga kemudian pada akhirnya, setelah polemik yang berlarut, disertai dengan konflik yang terjadi antara stakeholder dalam penyelenggaraan program BPJS Kesehatan, maka pemerintah baru memberikan persetujuan atas upaya subsidi tambalan defisit, seperti yang disampaikan (Sakina Rakhma Diah Setiawan, 2018) dalam "Dana Talangan BPJS Kesehatan Rp 4,9 Triliun Sudah Cair", dengan mekanisme Peraturan Menteri Keuangan No 113/ 2018 Tata Cara Penyediaan Pencairan dan Pertanggungjawaban Dana Cadangan Program Jaminan Kesehatan Nasional.
"Dana talangan Rp 4,9 triliun itu berdasarkan tunggakan BPJS Kesehatan kepada rumahsakit hingga Juli 2018. Sementara per September tunggakan sudah mencapai Rp 7,05 triliun. Dimana saat ini BPJS Kesehatan memiliki kerjasama dengan 2.434 rumahsakit di seluruh Indonesia, dan sudah memiliki daftar-daftar rumahsakit yang perlu dibayarkan", sebut Kepala Humas BPJS Kesehatan, M Iqbal Anas Ma'ruf